SETELAH film dokumenter dari pentolan System of a Down, Serj Tankian, berjudul Truth to Power, teman musisi seperjuangannya, Rage Against The Machine, memberikan respons. Tanggapan itu disampaikan secara artistik melalui film dokumenter berjudul Killing in Thy Name yang tayang 16 Januari 2020.
Sampul untuk dokumeter tersebut menggambarkan foto terkenal seorang pria yang berdiri di samping tengkorak sekitar 1,5 juta bison. Binatang itu dibantai untuk mengakhiri perjuangan kemerdekaan oleh penduduk asli Amerika.
Tak dimungkiri, musik Rage Against The Machine (RATM) telah menjadi musik yang pas untuk peristiwa sosial-politik beberapa tahun belakangan ini. Proyek dokumenter ini merupakan kolaborasi RATM secara kolektif bersama seniman internasional bernama The Ummah Chroma (yang berarti: komunitas warna).
BACA JUGA:
Film Dokumenter Serj Tankian ‘Truth To Power’ Tayang Februari 2021
Dokumenter berdurasi 15 menit itu menampilkan rekaman seorang guru di lapangan terbuka dengan beberapa anak sekolah, yang belajar tentang sejarah gelap perbudakan yang terjadi di Barat, peristiwa nyata yang tidak terhindarkan, serta menguraikan label ‘the fiction known as whitness’ dalam konteks Amerika Serikat.
Sampel lagu apik berjudul Killing in The Name dari RATM digunakan di hampir seluruh bagian film. Di akhir film, ditampilkan permainan langsung RATM membawakan lagu tersebut. Dokumenter ini juga digabungkan dengan kutipan dari anggota RATM yang membagikan pemikiran merekan tentang rasialisme dan betapa integralnya hal tersebut dengan etos seni mereka.
Dalam rekaman dokumenter tersebut, vokalis RATM, Zack de la Rocha, mengungkapkan pemikirannya tentang negara adidaya, Amerika Serikat. “Hidup di Amerika, kamu hidup di salah satu masyarakat paling brutal dalam sejarah dunia,” ujarnya.
Pemain bass Tim Commerford kepada Loudwire, Jumat (15/1), mengatakan menulis lagu yang berisi tentang apa yang terjadi secara sosial dan politik bukanlah pilihan bagi mereka. "Itu merupakan kewajiban. Aku ingin menggunakan musik sebagai senjata dan mulai menghantam orang-orang tertentu,” ujarnya,
Gitaris Tom Morello menambahkan, “Ibuku (Mary Morello) ialah wanita kulit putih dengan suara radikal. Selama tiga dekade dia meruapakan guru progresif di sekolah menengah konservatif yang menginspirasi siswanya untuk menantang sistem, dalam tindakan dan perkataannya, dia selalu mengajarkan bahwa rasialisme tidak boleh diabaikan dan harus selalu dihadapi.”(far)