PSI Kritik Pemisahan Laki dan Perempuan Bukan Solusi Atasi Pelecehan di Angkot

Mula AkmalMula Akmal - Selasa, 12 Juli 2022
PSI Kritik Pemisahan Laki dan Perempuan Bukan Solusi Atasi Pelecehan di Angkot
Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI, Eneng Malianasari. (Foto: PSI)

MerahPutih.com - Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta berencana memisahkan tempat duduk pria dan perempuan di dalam angkutan kota (Angkot) sebagai upaya pencegahan terjadinya pelecengan seksual.

Menyikapi hal ini, Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI, Eneng Malianasari mengatakan, pemisahan laki-laki dan perempuan di dalam angkot dinilainya tidak efektif dan hanya berefek jangka pendek.

Baca Juga:

Imbas Pelecehan Seksual, Dishub DKI Pisahkan Penumpang Pria dan Wanita di Angkot

"Kebijakan tersebut tidak efektif, hanya sebagai solusi jangka pendek dan tidak berkepanjangan, belum lagi Dishub tidak memikirkan ruang angkot yang sempit untuk membagi hal tersebut, berbeda dengan TransJakarta atau commuter line yang memiliki ruang luas," jelas Eneng di Jakarta, Selasa (12/7).

Anggota Komisi C DPRD DKI ini menerangkan, problem yang terjadi bukan hanya soal implementasi dari kebijakan tersebut, tapi bagaimana pengawasan dan penertiban yang dilakukan aparat penegak hukum agar tidak terulang lagi kejadian pelecehan tersebut.

Menurutnya, pemerintah bersama semua stakeholder baik itu institusi Komnas HAM, Komnas Anak dan Perempuan, juga LSM lainnya untuk duduk bersama membahas strategi berkepanjangan agar tidak lagi terjadi pelecehan di transportasi umum.

"Dengan duduk bersama, diharap melahirkan solusi jitu menanggulangi hal tercela tersebut terjadi lagi," tegasnya.

Maraknya tingkat kekerasan dan pelecehan seksual tentu menjadi concern semua pihak, sambung Eneng, pemerintah perlu juga merumuskan sistem untuk menciptakan rasa aman dan kenyamanan warga saat berada dalam transportasi umum.

Baca Juga:

Anggota Polda Metro Nekat Melompat dari Angkot Diduga Depresi

Lanjut dia, menurut Amnesty International pelecehan dan kekerasan seksual termasuk kasus HAM berat. Jadi tindakan kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual harus ditangani secara sistematis terorganisir agar bisa memutus mata rantai dan selanjutnya mencegah terjadinya kembali pelecehan seksual.

"Kewajiban masyarakat melaporkan pelaku pelecehan seksual juga telah diatur secara hukum. Dalam UU no. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang sudah disahkan pada tanggal 12 April 2022 lalu" jelasnya.

Eneng juga meminta kepada penegak hukum untuk memberi hukuman seberat-beratnya pada pelaku pelecehan atau kekerasan seksual sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Dalam Pasal 5 UU TPKS mengatur bahwa pelaku perbuatan seksual nonfisik dapat dipidana hingga 9 bulan penjara.Tak hanya itu, UU TPKS juga mengatur pelecehan seksual fisik sebagai salah satu tindak pidana kekerasan seksual.

Lalu, menurut Pasal 6 UU TPKS, pelaku pelecehan seksual fisik dapat dipidana hingga 12 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 300 juta. (Asp)

Baca Juga:

Pemkot Bogor akan Berhentikan Operasional 147 Angkot

#PSI #DKI Jakarta #Pelecehan Seksual
Bagikan
Ditulis Oleh

Asropih

Bagikan