MerahPutih.com - Tahapan Pemilu 2024, segera dimulai pada pertengahan Juni 2022 ini. Berbagai perselisihan, sengketa pemilu, diprediksi masih akan mewarnai hajatan demokrasi lima tahunan Indonesia.
Anggota Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menilai, Indonesia memerlukan kodifikasi hukum acara dalam menangani perkara sengketa pemilu untuk menghadirkan kepastian dan keadilan hukum pada semua pihak.
Baca Juga:
Tujuh Sekjen Parpol Nonparlemen Lakukan Pertemuan
"Selama ini, proses penyelesaian sengketa pemilu berjalan sendiri-sendiri di beberapa lembaga sehingga belum menghadirkan kepastian hukum," katanya di Jakarta, Jumat (10/6).
Ia mencontohkan sengketa di pemilihan kepada daerah (pilkada) yang diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK), di mana keputusannya dilakukan pemungutan suara ulang (PSU) beberapa kali yang seluruh prosesnya akan memakan waktu.
Rifqinizamy menegaskan, dalam proses PSU yang berkali-kali, misalnya, memakan waktu dan menunda adanya kepastian hukum. Selain itu, yang lebih penting adalah memangkas periodisasi jabatan yang seharusnya menjadi hak pejabat publik yang memenangkan kontestasi.
"Pemilu ini adalah kegiatan periodik untuk menghasilkan pejabat yang periodik, masa jabatannya sudah diatur dalam konstitusi dan ketentuan perundang-undangan. Kalau sampai sengketa itu kemudian memangkas sedemikian rupa waktu mereka menjabat maka sebetulnya kita menegakkan hukum di atas segala ketidakpastian," ungkapnya.
Rifqi mengakui, untuk melakukan kodifikasi hukum penyelesaian sengketa pemilu harus melibatkan berbagai pihak dan prosesnya di DPR harus lintas alat kelengkapan dewan, KPU dan Bawaslu serta Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Ini untuk bangsa. Karena memerlukan kepastiannya, itu satu yang harus kita selesaikan," katanya. (Pon)
Baca Juga:
Bawaslu Keberatan Penyelesaian Sengketa Pemilu 2024 Hanya 6 Hari Kalender