MerahPutih.com - Pelaku serangan teror di Polsek Astanaanyar, Bandung ternyata adalah bekas napi terorisme bernama Agus Sujarno.
Setara Institute menyayangkan aksi terorisme kembali terulang, terlebih pelaku adalah mantan narapidana kasus terorisme yang telah bebas murni dari pidana penjara.
Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan, peristiwa di Polsek Astananyar menjadi pembelajaran dan evaluasi BNPT dan Polri dalam proses deradikalisasi bagi para mantan napi teroris setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan.
Baca Juga:
LPSK Beri Jaminan Biaya Perawatan Korban Bom Bunuh Diri
"Sistem peringatan dan respons dini dari aksi terorisme yang dikembangkan di daerah belum banyak membantu untuk mencegah kelompok teroris melakukan tindakan bom bunuh diri," kata Hendardi kepada Merahputih.com di Jakarta, Kamis (8/12).
Padahal, pemerintah telah menerbitkan sederet regulasi, termasuk berbagai rencana aksi mencegah terjadinya kekerasan ekstremis.
Hendardi menilai, keberulangan tindakan ini menunjukkan dukungan dan sinergi kinerja deradikalisasi yang dilaksanakan oleh BNPT, mesti diperkuat.
Hendardi menambahkan, BNPT dan Polri seharusnya bisa mengefektifkan berbagai regulasi dan inisiasi untuk memperkuat sinergi dengan pemerintah daerah.
"Kami berulang kali mengingatkan bahwa menangani intoleransi adalah salah satu cara pencegahan di hulu agar tidak terjadi tindakan radikal, kekerasan dan terorisme," jelas Hendardi.
Namun selama ini, kerja-kerja pencegahan intoleransi seringkali dibiarkan. Sehingga, kelompok-kelompok tertentu berani mewujudkan aksi dengan tindakan radikal, kekerasan dan terorisme.
Kesatupaduan langkah berbagai institusi negara dibutuhkan untuk mengatasi kekerasan ekstremis tidak berulang.
Jika kerja hulu pencegahan intoleransi dan kerja hilir deradikalisasi tidak sinergis, maka potensi terorisme akan terus berulang.
"Pencegahan di hulu mutlak menjadi prioritas agenda, yakni menangani intoleransi sebagai salah satu cara penanganan persoalan keberulangan terorisme," ujarnya.
Baca Juga:
Tetangga Sebut Pelaku Bom Bunuh Diri Pamit ke Istri untuk Cari Modal Jualan Pukis
Peneliti dari Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme Universitas Indonesia Stanislaus Riyanta menyebut, Agus saat menjalani hukuman tidak mau mengikuti program deradikalisasi.
Namun dengan karakter pelaku tersebut, seharusnya ada pengawasan yang sangat ketat pasca-pelaku bebas dari hukuman.
"Mengingat bagi narapidana yang tidak mau mengikuti program deradikalisasi kemungkinan kembali melakukan aksi teror cukup besar,"jelas Stanislaus.
Menurut dia, Agus Sujatno selama menjalani masa tahanan adalah napiter yang sangat keras dan menolak untuk mengikuti deradikalisasi.
Selain itu karena sifatnya yang keras, Agus Sujatno ditempatkan di Super Maximum Security di Nusakambangan.
Bahkan pada saat menjalani masa tahanan, Agus Sujatno tidak mau berkomunikasi dengan sipir atau petugas lain.
“Deradikalisasi yang merupakan program sukarela tidak bisa dipaksakan kepada Agus Sujatno,” ujarnya.
Dia menyatakan, terkait dengan simbol atau pesan yang ditemukan di sepeda motor yang diduga dibawa pelaku sebelum aksi bunuh diri, menunjukkan perlawanan terhadap KUHP.
"Hal itu dapat dinilai hanya sebagai momentum yang dimanfaatkan pelaku," jelas dia.
Kelompok JAD dalam berbagai aksinya menargetkan polisi sebagai sasaran utama.
Hal ini terjadi karena polisi melakukan upaya penegakan hukum terhadap teroris, sehingga polisi dianggap sebagai thaghut.
"Selain polisi, tercatat JAD juga kerap kali menjadikan tempat ibadah sebagai sasaran aksi mereka,” ucap Stanislaus.
Menurut Stanislaus, pemerintah tidak bisa sendirian dalam mendeteksi, mencegah, dan menangani aksi teror.
Pelibatan masyarakat luas sebagai komponen negara yang paling besar harus dilakukan.
Kesadaran masyarakat terkait radikalisme dan terorisme adalah musuh bersama harus dikuatkan.
"Sehingga ruang bagi proses radikalisasi di masyarakat bisa semakin terbatas dan aksi teror bisa dicegah,” harapnya. (Knu)
Baca Juga:
Walkot Bandung Ajak Bersatu Usai Insiden Bom Bunuh Diri di Polsek Astanaanyar