MerahPutih.com - Bareskrim Polri membongkar kasus penggunaan obat terlarang di jasa klinik kecantikan di kawasan Tangerang, Banten. Dokter berinisial IA melakukan produksi obat ilegal yang diedarkan melalui klinik kecantikan yang dimilikinya.
Kasus ini mencuat lantaran banyaknya korban yang melapor praktik penggunaan obat ilegal tersebut kepada kepolisian. Saat ini, IA tengah ditangani oleh Direktorat Tindak Pidana (Dirtipid) Narkoba Bareskrim Mabes Polri.
Baca Juga
Melanggar Protokol Kesehatan Saat Tahapan Pilkada Bisa Kena Pidana
Direktur Dirtipid Narkoba, Brigjen Krisno Siregar mengatakan, pihaknya tengah melakukan penyidikan. Dalam tahapan tersebut, para penyidik sudah membawa sampel obat racikan dokter IA untuk diperiksa di laboratorium milik Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Polisi juga, lanjut Krisno, telah meminta keterangan ahli dari BPOM.
"Masih penyidikan, kami sudah minta keterangan dari BPOM, termasuk barang bukti sudah kami periksakan di laboratorium di BPOM. Kalau sudah keluar hasil lab, baru periksa ahli," jelas Krisno dalam keteranganya, Rabu (9/9).
"Itu dia kan bukan hanya produksi. Jadi produk (obat) tersebut dari luar negeri, dicampur-campur lagi dengan bahan-bahan yang dia punya di sini. Sebenarnya produk dia yang lain ada juga yang punya izin edar," tambah dia.
Krisno menjelaskan meski bahan obat yang dimaksud diimpor dari luar negeri dan memiliki izin edar di luar negeri, namun ketika masuk ke Indonesia harus melalui proses pemeriksaan BPOM agar memiliki izin edar.
"Kita kan konsepnya kegalitas. Dia kan nggak punya izin edar dari BPOM. Kalau dia bilang obatnya punya (izin edar) BPOM-nya di negara asal obat, tetap nggak bisa serta merta di Indonesia dipakai, diedarkan. Harus izin BPOM Indonesia. Tidak boleh dari BPOM-nya Korsel (Korea Selatan), BPOM-nya Amerika dan semacamnya," jelas Krisno.
Krisno menerangkan obat yang belum teruji oleh BPOM ini kemungkinan berbahaya.
"Kalau dia belum teruji BPOM Indonesia ya berarti berbahaya, apalagi dia memadukan ke kemasan lain, mencampurkan obat lain. Undang-undang kesehatan mengatakan harus didaftakan di BPOM. Kalau dia untuk menggunakan sendiri tidak melanggar, tapi kan ini diedarkan," terang Krisno.
Saat ini kasus dalam tahap penyidikan dan penyidik telah membawa sampel obat-obatan racikan dokter IA untuk diperiksa di laboratorium milik BPOM. Polisi juga telah meminta keterangan ahli dari BPOM.
"Masih penyidikan, kami sudah minta keterangan dari BPOM, termasuk barang bukti sudah kami periksakan di laboratorium di BPOM. Kalau sudah keluar hasil lab, baru periksa ahli," tutur Krisno.
Krisno menuturkan, IA melakukan aksi kejahatannya dengan mengimpor obat yang sudah jadi dari Amerika Serikat, kemudian ia melakukan praktik mencampur obat tersebut dengan bahan kimia atau obat lain sesuai racikannya.
"Obat impor memiliki izin di negaranya. Beberapa obat racikannya juga punya izin, namun ketika ia mencampurkan ini menjadi obat baru dan belum memiliki izin kelayakan dari BPPOM," kata Krisno.
Atas perbuatan tersebut, IA dapat dikenakan Pasal 196 dan 197 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Pasal 196 berbunyi, 'Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)'.
Sementara Pasal 197 mengatakan, 'Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)'.
"Dokter IA kami tetapkan tersangka karena merupakan direktur klinik MA," jelas Krisno.
Baca Juga
Para Tenaga Ahlinya Terjangkit COVID-19, DPR Batasi Jumlah Hadirin Saat RDP Hingga Raker
Peredaran obat di Indonesia pada dasarnya harus melalui serangkaian pengujian di BPOM. Berdasarkan ketentuan tersebut, Krisno menyebut perbuatan IA dapat membahayakan pasien yang selama inu berobat ke klinik MA.
"Obat ilegal seperti ini akhirnya dikategorikan berbahaya, apalagi dia memadukan ke kemasan lain, mencampurkan obat lain. Undang-undang kesehatan mengatakan harus didaftakan di BPOM. Kalau dia untuk menggunakan sendiri tidak melanggar, tapi kan ini diedarkan," pungkasnya. (Knu)