Hari Kesehatan Mental Sedunia

Pria, Jaga Mentalmu Sehat, jangan Terjebak Toxic Masculinity

Dwi AstariniDwi Astarini - Minggu, 10 Oktober 2021
Pria, Jaga Mentalmu Sehat, jangan Terjebak Toxic Masculinity
Toxic masculinity bisa membahayakan kesehatan mental pria. (Unsplash_Ayo Ogunseinde)

"PANTAT gue bagus, Ded. Gue latihan squat," kata Ivan Gunawan saat tampil pada siniar milik Deddy Corbuzier pada Agustus 2020. Secepat kilat, Deddy mengomentari pernyataan bangga Ivan. "Maaf ya, bukannya yang olahraga kardio dan squat itu cewek," sentil Deddy.

Seolah tak mau diremehkan, perancang busana yang kini juga presenter itu membalas dengan tak kalah sengit. "Ya terus kenapa? Lu tuh terlalu mengotak-kotakkan cewek-cowok, cewek-cowok. Pusing hidup lu. Repot lo," semprot Ivan.

Reaksi tak terduga dari Ivan Gunawan itu langsung memantik komentar warganet. Mereka menyebut sang mentalis telah melakukan praktik toxic masculinity. Simpati dan pujian mengalir kepada Ivan karena berani menentang komentar tak menyenangkan dari Deddy.

BACA JUGA:

Mengapa Pria Lebih Sulit Menangis Dibanding Perempuan?

Ya, tak dimungkiri sih, Iva Gunawan tak sendirian. Banyak kaum Adam di luar sana yang 'kena cibiran' karena dianggap kurang macho. Mereka dinilai berdasarkan pilihan olahraga--seperti Ivan misalnya--, makanan dan minuman favorit, pilihan outfit, bahkan sampai ke pilihan tontonan.

Masih ingat kan, bagaimana Harry Styles dianggap 'enggak pantas' pakai gaun saat jadi cover majalah mode Vogue? Meski demikian, Styles tetap bergaya. Ia jelas berani mempertahankan pilihannya. Ia tak takut menghadapi serangan toxic masculinity yang melabeli pria dengan standar tertentu.

Standar yang terlalu kaku

pria
Pria yang berperilaku berbeda dengan standar sosial akan dilihat sebagai ancaman. (Unsplash_Toa Heftiba)

Toxic masculinity adalah anggapan yang tertanam di benak masyarakat bahwa seorang pria harus patuh dengan standar sosial dalam bersikap. Adanya standar itu seperti sebuah aturan yang membatasi perilaku atau sikap seorang pria. Seperti dilansir Healthline, toxic masculinity tidak hanya terjadi secara terang-terangan. Sering kali, hal ini dilakukan dengan cara yang halus sehingga terlihat seperti layaknya sebuah nasihat. Tak jarang, toxic masculinity, dilontarkan sebagai lelucon sehari-hari.

Salah satu yang umum malah diucapkan para orangtua ke anak mereka, seperti 'anak cowok tidak boleh menangis'. Lebih jauh, toxic masculinity sering kali muncul dalam bentuk membanding-bandingkan ketangguhan mental serta fisik hingga ketahanan untuk tidak menunjukkan emosi. Hal itu bisa amat berbahaya buat kaum Adam. Mereka tidak bisa mengekspresikan diri dan perasaan karena dipenjara dalam sel-sel maskulinitas itu.

BACA JUGA:

Toxic Masculinity, ketika Laki-Laki Dituntut Selalu Gagah

Toxic masculinity semakin diperparah dengan ketatnya standar sosial. Saat berperilaku berbeda dengan standar sosial yang telah ditetapkan, seseorang akan mendapatkan perlakuan yang berbeda atau bahkan dipandang sebagai ancaman. Secara umum, standar yang kerap muncul dalam toxic masculinity, seperti disebutkan Very Well Mind, meliputi kekuatan fisik yang berarti perilaku agresif, antifeminitas yang berarti pria tak boleh melakukan hal-hal yang dianggap feminin (semisal menangis, melakukan perawatan tubuh, hingga menerima bantuan), dan kekuatan untuk berusaha mencapai kekuasaan dan status sosial-finansial.

Racun yang memengaruhi diri dan lingkungan sosial

perempuan
Tak hanya berdampak bagi pria secara individu, toxic masculinity juga dapat merugikan pihak lain. (Unsplash_Anthony Tran)

Tiga standar tersebut amatlah ketat mengatur perilaku para pria. Studi yang diterbitkan di AM J Public Health pada 2014 menyebut toxic masculinity dapat memengaruhi kesehatan fisik hingga mental pria. Perilaku itu berpengaruh terhadap menurunnya kualitas tidur hingga yang terburuk ialah menyebabkan depresi. Kemungkinan itu bisa makin parah karena pria cenderung tidak menemui dokter meski merasakan ada sesuatu yang kurang baik pada tubuhnya. Hal itu disebabkan pandangan bahwa pria yang pergi ke dokter merupakan pria yang lemah.

Dalam hal kesehatan mental, seperti dilansir Medical News Today, toxic masculinity dapat memengaruhi mental pria yang tidak memenuhi klaim 'maskulin', tapi tetap diharuskan (dipaksa) melakukannya. The American Psychological Association mencatat bahwa mencoba memenuhi standar maskulin secara berlebihan dapat membuat pria deewasa dan anak laki-laki mengalami efek buruk. Mereka mungkin mengalami depresi, masalah citra tubuh, fungsi sosial yang buruk, penyalahgunaan zat, dan merasa tertekan.

Selain itu, anggapan bahwa mengungkapkan emosi atau berbicara terbuka tentang perasaan bertentangan dengan nilai-nilai maskulinitas tradisional membuat pria yang mengalami masalah kesehatan mental lebih mungkin tidak mencari perawatan profesional atau tidak berani membicarakan kepada teman maupun keluarga.

Secara tak langsung, kondisi tersebut berdampak pada kehidupan sosial secara keseluruhan. Tak hanyapihak pria sebagai individu yang dirugikan, tapi juga orang lain, terutama perempuan. Dengan standar maskulinitas yang beracun, pria acap kali berlagak selalu benar dan tidak mau untuk mengakui kesalahan. Dalihnya, mereka tidak pandai untuk meminta maaf karena mereka pria. Nyatanya, komunikasi yang efektif juga mencangkup kemampuan untuk menyatakan permintaan maaf. Keterampilan itu seharusnya merupakan sesuatu yang perlu dilakukan semua individu. Bukan hanya perempuan dan orang-orang yang dinilai feminin.

Dalam skala yang lebih luas, toxic masculinity dapat membawa dampak sosial yang lebih serius. Lingkunan maskulin yang beracun membuat pria memiliki kecenderungan untuk berkontribusi pada isu-isu tertentu, salah satunya pemerkosaan. Selain itu, toxic masculinity juga mengajarkan pria untuk menjadikan kekerasan sebagai jalan keluar dari segala permasalahan.

Sudah tentu, keadaan lingkungan maskulin yang beracun tak bisa dilanggengkan lagi. Solusi utama untuk mengatasi toxic masculinity ialah mengubah dan menghindari adanya penetapan karakteristik tertentu terkait dengan identitas gender tertentu. Hal yang tak kalah penting, perlu ada perubah stigma mengenai kesehatan mental. Menjaga kesehatan mental, yang digambarkan hanya dibutuhkan perempuan, nyatanya juga sama penting untuk para pria.(cit)

BACA JUGA:

Mengapa Kita Sering Menolak Mengalami Suatu Perasaan?

#Kesehatan Mental #Hari Kesehatan Sedunia
Bagikan
Ditulis Oleh

Dwi Astarini

Love to read, enjoy writing, and so in to music.
Bagikan