MerahPutih.com - Kebijakan Kementerian Agama mengenai panduan pemakaian pengeras suara (speaker) di masjid/musala tidak boleh lebih dari 100 desibel (dB) mendapat sorotan pro-kontra dari publik. Anggota Komisi VIII DPR, Bukhori Yusuf turut memberikan catatan khusus.
Bukhori mengakui secara substansi pedoman tersebut seolah mengabaikan dinamika kondisi sosiologis dan kultural masyarakat setempat. Pasalnya, jangkauan dari edaran tidak hanya dialamatkan kepada masjid atau musala yang berada di wilayah perkotaan tetapi juga di wilayah pedesaan.
Baca Juga
Isi Lengkap SE Menag Atur Pedoman Pengeras Suara di Masjid dan Musala
"Penggunaan pengeras suara di masjid adalah tradisi umat Islam di Indonesia," kata Bukhori, dalam keterangan persnya di Jakarta, Selasa (22/2).
Bagi masyarakat tradisional yang komunal, papar dia, mereka relatif memiliki penerimaan yang lebih positif terhadap tradisi melantunkan azan, zikir, atau pengajian dengan suara keras melalui speaker masjid.
"Selain alasan bahwa di dalam budaya komunal setiap laku individu terkonstruksi secara alamiah untuk mengutamakan kepentingan umum, tradisi tersebut juga tidak menemukan masalah ketika diterapkan di lingkungan yang homogen seperti pedesaan,” ungkap politikus PKS itu.
Baca Juga:
Indonesia Resmi Batasi Volume Suara Maksimal Toa Masjid dan Musala
Menurut dia, dalam konstruksi kebudayaan masyarakat di pedesaan, bunyi keras tersebut telah menjelma sebagai ‘soundscape’ atau bunyi lingkungan. Sehingga apabila frekuensi ataupun kapasitas dari bunyi tersebut berkurang, melemah, bahkan menghilang.
Akibatnya, lanjut Bukhori, dapat berpengaruh terhadap suasana kebatinan penduduk yang biasa terpapar oleh lantunan suara yang berasal dari masjid/musala, walaupun dilakukan secara bersahut-sahutan dengan volume yang keras. “Seperti ada bagian yang hilang dalam keseharian hidup mereka,” tegas wakil rakyat dari dapil Jawa Tengah itu.
Lebih jauh, Bukhori mengamini fenomena yang dianggap lazim di pedesaan itu tidak sepenuhnya dapat diterima penduduk perkotaan yang hidup dalam suasana heterogen, individualistik, serta bising, sehingga ketenangan menjadi hal yang didambakan. "Dalam kondisi itu, pengaturan pengeras suara pada tingkat yang proporsional menjadi hal yang perlu dilakukan," imbuhnya.

Kader PKS itu menekankan, pengaturan pengeras suara tidak boleh disertai unsur pemaksaan, tetapi membutuhkan pendekatan dari hati ke hati antar warga.
Kuncinya, lanjut dia, menyerahkan urusan ini kepada masyarakat untuk mengaturnya melalui tradisi atau musyawarah mengingat setiap kampung/daerah berbeda kondisi sosio-kulturalnya antara satu dengan yang lainnya.
"Bagi pihak yang merasa terusik dapat menyampaikan rasa keberatannya secara santun," tutup Anggota Badan Legislasi DPR itu.
Sebelumnya, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan edaran yang mengatur penggunaan pengeras suara di masjid dan musala. Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.
Menurut Menag, penggunaan pengeras suara di masjid dan musala merupakan kebutuhan bagi umat Islam sebagai salah satu media syiar Islam di tengah masyarakat.
Pada saat yang bersamaan, masyarakat Indonesia juga beragam, baik agama, keyakinan, latar belakang, dan lainnya. Sehingga, diperlukan upaya untuk merawat persaudaraan dan harmoni sosial. (Knu)
Baca Juga:
Menteri Agama Umumkan Kepastian Penyelenggaraan Ibadah Haji 2022