MerahPutih.com - Polarisasi antar-kelompok masyarakat berpotensi terjadi saat Pemilu 2024.
Setara Institute mengungkap adanya potensi politisasi identitas menjelang Pemilu 2024. Hal itu dapat memperburuk kondisi kebebasan/berkeyakinan (KBB) di tahun ini.
"Potensi politisasi identitas menjelang Pemilu 2024 dapat memperburuk KBB, terutama dalam bentuk persekusi terhadap kelompok-kelompok minoritas dan menguatnya kehendak politik penyeragaman atas nama agama dan moralitas," kata Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos di Jakarta, Selasa (31/1).
Baca Juga:
Bawaslu Matangkan Modul Pembekalan untuk Pengawas Pemilu di Luar Negeri
Hal ini bukan tanpa alasan. Sebab, Setara Institute mencatat adanya 175 peristiwa dengan 333 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia selama tahun 2022.
Pelanggaran itu paling banyak ditemukan di Jawa Timur, Jawa Barat, dan disusul DKI Jakarta.
Pelanggaran KBB oleh aktor negara paling banyak dilakukan oleh pemerintah daerah (47 tindakan), kepolisian (23 tindakan), Satpol PP (17 tindakan), institusi pendidikan negeri (14 tindakan), Forkopimda (7 tindakan).
Sedangkan pelanggaran KBB oleh aktor non-negara paling banyak dilakukan oleh warga (94 tindakan), individu (30 tindakan), ormas keagamaan (16 tindakan), MUI (16 tindakan), dan Forum Kerukunan Umat Beragama/FKUB (10 tindakan)
Setara Institute pun meminta Polri untuk mengintensifkan pemantauan tindakan ujaran kebencian dan hoaks jelang Pemilu 2024.
Sebab, hal itu dinilainya sering menjadi sarana untuk memperkusi kelompok minoritas.
"Polri agar mengintensifkan pemantauan tindakan ujaran kebencian dan hoaks, yang sering menjadi sarana untuk mempersekusi kelompok minoritas, terutama menjelang pemilu, dengan pendekatan dialogis dan preventif, sehingga tidak menimbulkan pelanggaran HAM baru pada kebebasan berpendapat dan berekspresi," tutur Bonar.
Baca Juga:
BNPT Cegah Penyebaran Terorisme Jelang Pemilu 2024
Setara Institute juga memberikan sejumlah rekomendasi lain agar kebebasan beragama di Indonesia tidak meningkat.
Salah satunya, meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperkuat kepemimpinan toleransi.
"Presiden Joko Widodo memperkuat kepemimpinan toleransi dan mengakselerasi kebijakan tata kelola inklusif untuk memunculkan gerak pemerintahan yang masif dari pusat hingga daerah guna mengatasi permasalahan-permasalahan KBB secara efektif, termasuk gangguan tempat ibadah," ujar Bonar Tigor.
Selain itu, Setara Institute juga meminta pemerintah pusat dan daerah mengefektifkan penanganan kebijakan diskriminatif yang sering menjadi justifikasi bagi kelompok tertentu untuk mempersekusi minoritas.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dan Mendagri Tito Karnavian juga diminta mengkaji ulang PBM No 8 dan 9 Tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah.
Menteri Agama perlu meninjau ulang desain dan kinerja Program Moderasi Beragama, yang saat ini telah diinstitusionalisasikan dengan pembentukan badan khusus. Sehingga, di lapangan tidak menimbulkan dan memicu konflik baru antarsesama agama dan antarsesama anak bangsa.
"Menteri Dalam Negeri memastikan pengarusutamaan inclusive governance bagi pemerintahan daerah, dengan menerbitkan kebijakan khusus tata kelola yang inklusif dalam mengelola kemajemukan republik," tutup Bonar Tigor. (Knu)
Baca Juga:
Bawaslu Bersama Kominfo akan Hapus Konten Negatif di Media Sosial saat Pemilu 2024