MerahPutih.com - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), menilai pengajuan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang dilayangkan terpidana perkara korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra, cacat formil.
Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengungkapkan tiga alasan mengapa permohonan PK buronan Kejaksaan Agung (Kejagung) itu tidak memenuhi prosedur pengajuan permohonan.
Baca Juga
Reaksi BIN Ketika ICW Minta Jokowi Copot Budi Gunawan karena Kasus Djoko Tjandra
Alasan pertama, kata Boyamin, berdasarkan bukti foto memori PK yang diajukan Djoko Tjandra tertulis pemberian kuasa kepada penasehat hukum tertanggal 5 Juni 2020.
Namun, dia menilai, bukti itu berbeda dengan keterangan penasihat hukum Djoko Tjandra, Anita Kolopaking yang menyatakan yang bersangkutan baru tanggal 6 Juni 2020 masuk Pontianak, Kalimantan Barat untuk berangkat ke Jakarta.
“Artinya pada tanggal 5 Juni 2020, Djoko Tjandra belum masuk Jakarta sehingga jika dalam Memori PK surat kuasanya tertulis ditandatangani tanggal 5 Juni 2020 maka Memori Pengajuan PK adalah cacat dan menjadikan tidak sah,” kata Boyamin dalam keterangannya, Rabu (29/7).

Boyamin melanjutkan, alasan kedua, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM menyatakan Djoko Tjandra, secara hukum tidak pernah masuk ke Indonesia karena tidak tercatat dalam perlintasan pos imigrasi Indonesia.
“Sehingga Djoko Tjandra secara hukum haruslah dinyatakan tidak pernah masuk ke Indonesia untuk mengajukan PK,” ungkapnya.
Hal ini didukung tim penasehat hukum yang tidak pernah menunjukkan dan atau menyerahkan bukti paspor atas nama Djoko Tjandra yang terdapat bukti telah masuk ke Indonesia.
“Sehingga haruslah dinyatakan Djoko Tjandra tidak pernah mengajukan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Jika ada orang mengaku Djoko Tjandra datang ke PN Jaksel maka orang tersebut adalah Hantu Blau,” jelas dia.
Baca Juga
MAKI Tegaskan Berkas PK Djoko Tjandra Tidak Boleh Dikirim ke MA
Alasan ketiga, kata Boyamin, pada sat mengajukan permohonan PK, Djoko Tjandra diduga melakukan perbuatan-perbuatan melanggar hukum yaitu memasuki Indonesia secara menyelundup dan selama di Indonesia menggunakan surat jalan palsu dan surat bebas COVID-19 palsu.
“Sehingga proses hukum pengajuan PK haruslah diabaikan karena dilakukan dengan cara-cara melanggar dan tidak menghormati hukum,” tutup Boyamin. (Pon)