Petualangan Baret Hijau di Malam 30 September 1965

Yudi Anugrah NugrohoYudi Anugrah Nugroho - Rabu, 27 September 2017
Petualangan Baret Hijau di Malam 30 September 1965
Letnan Kolonel Untung Sjamsuri. (3bp)

Rencana peringatan hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 5 Oktober 1965 telah direncanakan jauh-jauh hari. Pihak ABRI ingin perayaan meriah. Pada 21 September 1965, Panglima Komando Strategis Angkatan Darat Mayjen Soeharto mengirim radiogram No. T.239/9. Radiogram ini merupakan ulangan dari radiogram No. T.220/9, dikirim sepekan sebelumnya.

Isi kedua radiogram sama: memerintahkan pemberangkatan Batalyon 454/Para Diponegoro dari Jawa Tengah dan Batalyon 530/Para Brawijaya dari Jawa Timur ke Jakarta dengan seluruhnya membawa perlengkapan tempur garis 1.Turut pula bergabung Batalyon 328/Para dari Jawa Barat.

“Ketiga batalyon tersebut dilengkapi kesatuan senjata bantuan Kostrad, kesatuan panser dan tank dari Bandung, serta pasukan artileri dari Cimahi,” tulis Julius Pour dalam Gerakan 30 September: pelaku, pahlawan & petualang mengutip buku Sejarah Kostrad.

Ketiga batalyon memasuki Jakarta pada 27 September 1965. Kesempatan itu digunakan Letnan Kolonel Untung Samsuri untuk bernostalgia dengan bekas anak buahnya dari Batalyon 454, Jawa Tengah.

Letkol Untung merupakan mantan Komandan Batalyon 454 Banteng Raider, bermarkas di Srondol, Semarang. Pasukan Banteng Raider tersebut didirikan Ahmad Yani (masih berpangkat Letnan Kolonel) ketika operasi penumpasan DI/TII.

Nostalgia Letkol Untung tak terbatas pada pasukan Banteng Raiders, juga dia kembali bersua dengan Mayor Infanteri Bambang Soepeno, Komandan Batalyon dari Jawa Timur. Mereka sama-sama seatap pada Komando Mandala, di bawah pimpinan Soeharto, pada Operasi Djaja Widjaja saat merebut Irian Barat.

Berangkat dari kedekatan tersebut, Untung mempengaruhi Batalyon 454 dan 530 untuk membantu mengamankan presiden Sukarno dari ancaman kudeta Dewan Jenderal. Pasukan bergerak, sementara Batalyon 328 Jawa Barat berpisah jalan.

Pada rapat di rumah Syam Kamaruzaman tanggal 29 September 1965, tulis Alex Dinuth dalam Dokumen Terpilih Sekitar G30S/PKI, Dewan Revolusi diketuai Letnan Kolonel Untung akan mendemisionerkan Kabinet Dwikora. Mereka pun memutuskan bahwa batalyon 454 dan 530 menjadi tenaga cadangan dari Gerakan 30 September. Pasukan ini kemudian ditempatkan di sisi utara lapangan depan istana, sisi barat depan RRI, dan di selatan dekat gedung telekomunikasi. Satu pasukan pendukung G30S sudah siap di depan mata melakukan aksi.

Setelah terjadi penculikan perwira Angkatan Darat pada dini hari 1 Oktober 1965, Mayor Jendral Soeharto yang tak masuk daftar penculikan pun bersiasat.

“Setelah kami mengetahui pasukan-pasukan di sekitar istana kesatuan Baret Hijau, komandan brigadenya kami panggil dan kami minta tanggung jawab. Kebetulan tanggal 30 September saya baru melakukan inspeksi terhadap brigade tersebut termasuk semua batalyonnya,” ujar Soeharto, pada Julius Pour dalam Gerakan 30 September: pelaku, pahlawan & petualang.

Batalyon 530 pun menyingkir dan bergabung ke Kostrad jelang siang hari 1 Oktober 1965. Kapten Soekirno, dari Batalyon 454, seperti ditulis John Rossa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, mencegah pasukannya untuk ke Kostrad dan meninggalkan lapangan Merdeka. Mereka naik truk menuju Halim.(*) Achmad Sentot

#Batalyon 454 #Soeharto #Kolonel Untung #Sejarah Peristiwa 1965
Bagikan
Bagikan