Lapsus: Gelora Pertempuran Surabaya

Perwira Inggris Kaget Arek-arek Suroboyo Bertempur Tak Takut Mati Seperti Orang Mabuk

Yudi Anugrah NugrohoYudi Anugrah Nugroho - Jumat, 10 November 2017
Perwira Inggris Kaget Arek-arek Suroboyo Bertempur Tak Takut Mati Seperti Orang Mabuk
Pasukan Angakatan Laut Kerajaan Inggris saat pertempuran di Surabaya. (imperial royal museum)

PESAWAT Dakota Angkatan Udara Inggris meraung-raung di terik langit kota Surabaya, siang hari 27 Oktober 1945. Dari lambung pesawat, muntah beratus pamflet. Surabaya pun hujan selebaran.

Isi pamflet membuat marah pejuang-pejuang Surabaya. “Jelas pamflet-pamflet ini melanggar jiwa dan aksara persetujuan tanggal 26 Oktober 1945,” ungkap Roeslan Abdulgani, pada Seratus Hari di Surabaya Yang Menggemparkan Indonesia.

Panglima Divisi ke-23 Jendral Mayor DC Hawthorn, pada pamfletnya menyatakan perintah kepada rakyat Surabaya agar menyerahkan kembali senjata dan peralatan Jepang kepada Sekutu. Perintah itu disertai ancaman bila ada orang terlihat membawa senjata dan tidak bersedia menyerahkan kepada Sekutu, maka menanggung risiko ditembak.

Segera dr. Moestopo, Menteri Pertahanan, dan Residen Soedirman mengontak Mallaby. “Rupanya Mallaby agak terperanjat juga dengan adanya pamflet-pamflet itu,” ungkap Abdulgani. Sesuai garis komando, mau tak mau Mallaby harus menerima perintah Hawthorn.

Keadaan Surabaya seketika sepi. Para pemuda mulai memasang barikade. Sementara Kolonel Pugh memerintahkan menyita setiap kendaraan. Kondisi memanas. Badan-badan perjuangan, BKR, polisi istimewa menggangap tindak Pugh tak bisa dibenarkan.

Seluruh badan perjuangan berkonsolidasi. BKR, TKR, Pemuda Rakyat Indonesia (PRI), Barisan Hizbullah, API, BPRI, BKR Pelajar, PTKR, Perisai, PAL, MKL, TRIP, Pasukan L, TGP, AMS, PRI Maluku, PRI Kalimantan, dan pasukan polisi istimewa semua menyatakan menolak ultimatum Sekutu dan siap bertempur mempertahankan Surabaya.

Tembak-menembak pertama, menurut Barlan Setiadijaya pada 10 November 1945, Gelora Kepahlawanan Indonesia, terjadi ketika kepulangan para anggota PRI Sulawesi (Perisai) seusai rapat konsolidasi menyenggol barikade Sekutu di muka Rumah Sakit Darmo. “Tembak-menembak ini merembet ke seluruh kota di Kayoon, Simpang, Ketabang, Jembatan Merah, dan Bentengmiring di Ujung,” tulis Barlan Setiadijaya pada 10 November 1945, Gelora Kepahlawanan Indonesia.

Konvoi kendaraan Inggris mandek karena barikade. Truk pengangkut logistik dicegat laskar. Pos-pos kecil di seluruh kota digempur badan-badan perjuangan. “Mereka diserang dengan senjata apa adanya. Aliran listrik, telepon, dan saluran air diputus, sehingga pasukan Inggris sangat menderita karena tidak menerima pasokan logistik dari luar” tulis Barlan.

Mayat-mayat pasukan India terombang-ambing di Kali Mas. Pasukan India Brigade ke-49 sebanyak 6.000 personel hancur lebur dan diambang kekalahan. Markas mereka di Darmo, Gubeng, Ketabang, Sawahan, Bubutan, dan daerah pelabuhan serta lapangan terbang Morokrembangan dikepung arek-arek Suroboyo.

Pertempuran 3 hari, 28-30 Oktober 1945, seturut Letkol Doulton pada The Fighting Cock, sangat menguras tenaga pasukan Inggris. Tiap pos Inggris terkepung. Pertempuran berlangsung hingga tengah malam. “Waktu sangat lamban, dan setiap jam, posisi pertahanan kita terus memburuk,” ungkapnya.

Doulton terheran-heran dengan semangat juang arek-arek Suroboyo. Mereka, lanjut Doulton, tak memperhitungkan nyawa. “Bila seorang gugur, lainnya tampil ke depan, seperti orang mabuk dan menggila melihat darah,” imbuh Doulton.

Kondisi pertempuran semakin kritis bagi Inggris. Komandan Pasukan India Brigade ke-49 AWS Mallaby kemudian mengambil jalan perundingan untuk keluar dari pertempuran. Mallaby mengirim kawat SOS kepada atasannya di Jakarta. (*)

#Gelora Pertempuran Surabaya #Pertempuran 10 November 1945 #Pertempuran Surabaya #Brigjen Mallaby
Bagikan
Bagikan