Lapsus Chrisye

Ketika Chrisye di Persimpangan Jalan, Antara Gipsy atau Studi!

Yudi Anugrah NugrohoYudi Anugrah Nugroho - Jumat, 08 Desember 2017
Ketika Chrisye di Persimpangan Jalan, Antara Gipsy atau Studi!
Personel Gipsy Band di tahun 1971. (Foto: Denny Sakrie)

SELEPAS manggung Joe-Am Nasution (gitar), Gauri Nasution (Gitar), Pontjo Sutowo (Organ), Chrisye (Bas), dan tiga pemukul drum, Edit, Ronald Boyo, serta Keenan Nasution berkumpul. Mereka sedang merundingkan usul Pontjo agar Sabda Nada berganti asma.

“Kami merasa nama Sabda Nada seperti telah ketinggalan zaman. Saya mengusulkan namanya diganti saja menjadi Gipsy,” ungkap Pontjo sebagaimana dikutip Denny Sakrie pada “Hikayat Band Dari Menteng: Gipsy”.

Usul tersebut bersambut. Gipsy jadi lebih trendi. Ternyata usul Pontjo sekaligus salam perpisahannya kepada rekan-rekannya lantaran memilih pindah ke Semarang tahun 1968. Gipsy mendapatkan penggantinya, Onan Soesilo (Fingers Band). Mereka juga mendapat tambahan pemain anyar, Tamy Daudsyah peniup Saksofon dan Nasrul Harahap atau tersohor dengan Atut Harahap.

“Atut jadi pemasok lagu-lagu baru antimainstream kepada Gipsy,” ungkap Keenan Nasution saat ditemui MerahPutih.com beberapa waktu lalu. Atut, lanjut Keenan, membawa piringan hitam band-band seperti Wilson Picket, The Equals, John Mayall & The Heartbreakers, Sam & Dave, Jimmy Hendrix & The Experience, dan King Crimson untuk diperdengarkan bersama anak-anak Gipsy.

Gipsy semakin berkibar dengan skuat teranyar. Mereka bahkan sempat mengadakan konser di Taman Ismail Marzuki dengan penonton penuh sesak. Popularitas semakin meningkat. “Jangan ditanya cewek-cewek biasa menguntit kami. Banyak sekali,” kenang Chrisye dikutip Alberthiene Endah pada Chrisye Sebuah Memoar Musikal. “Bayangkan. Main band dengan penonton fanatik, gondrong pula. Rasanya keren sekali”.

Selain keren, kantong personel Gipsy pun mulai menebal. “Dari sekali manggung saja, saya bisa membeli beberapa buah baju bagus,” kenangnya. Meski tenar, Chrisye melakukan segala kegiatan bermusiknya secara sembunyi-sembunyi. Dia tak ingin orang rumah tahu kalau tiap hari kerjaannya nongkrong, latihan, dan manggung.

Sepulang kuliah Jurusan Arsitek, Fakultas Teknik, Universitas Kristen Indonesia (UKI), Chrisye buru-buru keluar rumah dengan menenteng buku-buku dan diktat. Laporannya tentu hendak belajar di rumah teman. Tapi, kenyatannya dia justru berlatih sebentar di rumah keluarga Nasution, tetangganya, lalu lanjut naik pentas. “Baju-baju manggung saya sudah disediakan di rumah Keenan”.

Kelakuan Chrisye bukannya tak tercium keluarganya. Joris jadi saksi bagaimana adiknya pontang-panting mengatur jadwal manggung dan ngampus. Pikiran Chrisye berkecamuk. Dia lebih senang seharian membetot bas daripada semenit mendengarkan paparan dosen.

“Saya berhenti aja deh dari UKI,...” ujar Chrisye.

Tak cuma Joris, papi dan maminya pun sangat kaget mendengar kata-kata Chrisye. Sang papi selalu mengambulkan cita-cita tinggi kepada putra nomor dua agar menjadi arsitek.

“Papi tahu kalau kamu cinta sama musik. Papi juga cinta musik. Tapi sore ini papi hanya ingin mendengar sebuah kepastian... bahwa kamu tidak akan menjadikan musik sebagai profesi dan sandaran hidup?”.

Chrisye mematung. Mengunci mulut. Diam seribu bahasa. Lama,... Hingga akhirnya berani mengutarakan sikapnya.

“Papi, apa salahnya saya mencari nafkah di jalur musik,” tanya Chrisye.

“Selama papi mampu membiayai kamu sekolah, kenapa kamu tidak memanfaatkan jalur lebih aman untuk hidupmu? Papi tidak membenci musik. Tidak anti pada musik. Tapi profesi pemusik? Kamu harus mencernanya dengan logika,” terang papinya.

Chrisye tetap menunduk. Terdiam. Dia melihat langkah kaki papinya mulai berjalan meninggalkan percakapan. Sebelum pergi, papinya mendekat. “Jangan anggap papi sedang memaksa kamu. Papi justru ingin membantu kamu mendapatkan hidup lebih baik”.

Nasihat papinya begitu membekas. Chrisye semakin gamang. Kuliah arsiteknya kemudian berakhir. Dia lantas mendaftar kuliah di Akademi Perhotelan Trisakti pada tahun 1970. Dia menganggap kuliah perhotelan lebih mudah dan asyik ketimbang mengurus hitung-hitungan.

Kuliah berjalan sesuai rencana. Dia sudah masuk semester tiga, hingga datang Pontjo membawa berita sangat mencengankan. “Lu mau ikut kan ke New York! Kita dapat kerjaan asyik nih, kontrak setahun manggung di restoran sana”. Tawaran mantan pemain organ Gipsy tersebut semakin membuat Chrisye limbung. Dia jadi berpikir untuk menjatuhkan pilihan meneruskan kuliah atau berangkat ke Amerika? (*)

#Chrisye #Film Chrisye #Lapsus Chrisye #Sejarah Chrisye
Bagikan
Bagikan