Perpustakaan Alternatif, Swadaya Meningkatkan Literasi Ngilmu di Negeri Aing

Ikhsan Aryo DigdoIkhsan Aryo Digdo - Jumat, 23 Juli 2021
Perpustakaan Alternatif, Swadaya Meningkatkan Literasi Ngilmu di Negeri Aing
Perpustakaan Jalanan oleh Dicki Lukmana. (Foto: siasatpartikelir.com)

PERPUSTAKAAN sejatinya berfungsi sebagai penyalur literasi kepada masrayakat luas. Oleh karena itu, perpustakaan memiliki berbagai buku keluaran baru maupun lama, dengan beragam varian bacaan, difungsikan guna menambah ilmu atau sekedar hiburan.

Perpustakaan semestinya mudah diakses orang-orang di sekitar lingkungannya. Akan tetapi, perpustakaan formal nyatanya hanya terkonsentrasi di tempat-tempat tertentu saja, sehingga kadang tidak mampu dijangkau masyarakat menengah-bawah, pedesaan, dan daerah perbatasan.

Baca juga:

Aku Belajar Gaya Hidup Minimalis di Masa Pandemi

Kehadiran Pustaka Bergerak jadi pionir perpustakaan alternatif. Perpustakaan tak hanya menetap di satu lokasi, melainkan mengarungi berbagai tempat guna ‘mencerdaskan masyarakat Indonesia’ sebagai misi utama hadri untuk mendekatkan bacaan kepada masyarakat.

Perpustakaan Umum melalui Foto Yang Dipergelap. (Foto: Unsplash/Wu Yi)


Masyarakat pertama mencibir kehadiran Pustaka Bergerak sebagai ide “orang gila” atau “orang aneh”. Bukan hanya mendapat cibiran, melainkan dicurigai sebagai penculik anak-anak. Indikatornya, profesi digeluti pemustaka tersebut bukan profesi biasa seperti orang-orang umumnya. Oleh karena itu, tekad kuat dan niat menyiapkan literasi menjadi langkah awal Pustaka Bergerak bergelut dengan pendidikan masyarakat.

Pustaka Bergerak dirintis seorang penulis dan budayawan bernama Nirwan Ahmad Arsuka. Ia memulainya dengan mengendarai kuda antara Banten dan Jawa Barat pada Agustus-Desember 2014. Ia harus melatih kudanya sejak 2013, satu tahun sebelum perjalanan, sebagai bekal memulai Pustaka Bergerak.

Dalam perjalanannya, Nirwan berkenalan dengan anak-anak yang bahkan tidak mengenal sejarah tempat tinggalnya. Tapi, dia memberikan apresiasi pada anak-anak yang aktif bertanya, sehingga menandakan kecerdasan mereka tanpa bacaan yang memadai atau minim.

Perpustakaan umum tampak depan. (Foto: Unsplash/priscilla du preez)

Selanjutnya, dia membuat perpustakaan bergerak dengan uang pesangon hasil dari kepengurusan di pustaka Freedom Institute. Lalu, dia memilih target audience di tempat terjauh dan akses buku jarang atau tidak ada. Untuk menembus rintangan itu, dia menciptakan “Kuda Pustaka” (Pustaka Bergerak) di Gunung Slamet.

Berkat itu, tindakan dia mendorong pemuda bernama Ridwan Sururi, kenalannya di media sosial Facebook. Ridwan adalah orang pertama yang menjalankan ‘Kuda Pustaka’ di Kampungnya. Tantangan pasca perintisan adalah kehadiran oknum-oknum pemerintah yang mempertanyakan izin kegiatan atau memanfaatkan ‘Kuda Pustaka’ untuk tunggangan pribadi, yang hilirnya ke perpolitikan.

Perpustakaan Umum. (Foto: Unsplash/Alfons Morales)


‘Kuda Pustaka’ atau lambat laun dikenal Pustaka Bergerak, memperluas jangkauan pada 2015. Baik melalui sosial media ataupun jaringan yang dimiliki si pencetus awal. Kekuatan jaringan Pustaka Bergerak semakin kuat dengan kehadiran dua kapal tradisional, disebut Kapal Pustaka.

Kapal ini ditujukan untuk menggapai daerah-daerah tepi pantai Indonesia. Kapal Pustaka juga berkenalan dengan masyarakat sebagai kapal tradisional, yang hampir dilupakan dalam memori.

Baca juga:

Zaman Sudah Canggih, Ngilmu Nulis di Buku Tetap Lebih Asyik

Kehadiran media asing BBC menjadi bantuan terbesar guna memperluas komunitas Pustaka Bergerak. Sebab, saat itu relawan dan buku sudah tersedia, tinggal solusi distribusinya. Hal yang miris dari kisah Pustaka Bergerak adalah minimnya liputan dari media dalam negeri, sampai baru ‘viral’ setelah diliput media BBC pada 2017. Puncaknya saat pencetus Pustaka Bergerak bertemu Presiden RI Joko Widodo, pada 2 Mei 2017.

Permintaannya direspon cepat oleh orang nomor satu Indonesia ini, dan dikampanyekan orang-orang yang memiliki ‘nama’ di media sosial, salah satunya founder Narasi.TV. Adanya pengiriman buku gratis dari PT Pos Indonesia, membantu distribusi buku dari Pustaka Bergerak ke masyarakat. Dengan begitu, mendorong masyarakat berbagai daerah mendalami literasi yang sebelumnya belum pernah dilakukan.

Para relawan dari berbagai Komunitas Literasi memberikan bantuan bencana di NTT (Foto: Instagram/@pustakabergerak.id)


Pustaka Bergerak adalah salah satu dari perpustakaan alternatif. Perpustakaan alternatif memberikan peluang dan kontribusi besar supaya masyarakat Indonesia melek huruf. Melalui melek huruf, masyarakat dapat menyerap ilmu dan menerapkan aktivitas yang berkaitan dengan literasi. Alih-alih mencibir, mereka belajar mengenal sejarah tempat tinggalnya, ataupun saling belajar bersama.

Pustaka Bergerak tidak bergerak sendiri, karena ada Aliansi Perpustakaan Jalanan (gabungan perpustakaan alternatif), TBM (Taman Baca Masyarakat), Noken Pustaka, Taman Baca Kolong Ciputat, dan pihak lainnya. Meskipun sudah berkenalan dengan masyarakat, hubungan perpustakaan alternatif dengan penegak hukum belum berjalan mulus.

Karena tak jarang ada persekusi dan pembubaran tempat baca. Baik karena konten buku yang berseberangan, ataupun keputusan sepihak dari Satuan Polisi Pamong Praja mengusir Lapak Baca pejuang literasi.

Fungsi Perpustakaan Alternatif di samping Perpustakaan Umum (Foto: Unsplash/Anastase Maragos)


Dari sini, perpustakaan alternatif menjalani proses yang panjang guna diterima masyarakat. Perpustakaan alternatif juga menjalani kendala dalam distribusi buku atau pun perizinan usahanya. Oleh karena itu, ada baiknya pemerintah dan aparat keamanan ikut andil dalam perkembangan perpustakaan alternatif sebagai modal literasi masyarakat.

Kemudian, ada baiknya media-media regional rajin meliput kehadiran perpustakaan alternatif. Karena melalui perpustakaan alternatif, iklim belajar di luar sekolah dan ruang belajar lebih terbuka membuat masyarakat nyaman membaca. Dari rasa nyaman inilah minat membaca buku akan tumbuh, baik di rumahnya maupun lokasi membaca.

Perpustakaan alternatif mampu menjadi solusi Ngilmu literasi di Negeri Aing, terutama merujuk tingkat literasi Indonesia pada 2021 yang menempati urutan ke-62 dari 70 Negara. Artinya, tingkat literasi Indonesia masih rendah, dan menjadi pekerjaan rumah Negeri Aing. (bed)

Baca juga:

Badut Kelas, Bikin Seisi Kelas Tertawa Sampai Lemas

#Teknologi #Juli Ngilmu Di Negeri Aing
Bagikan
Ditulis Oleh

Ikhsan Aryo Digdo

Learner.
Bagikan