Perppu Cipta Kerja terus Menuai Kritik

Zulfikar SyZulfikar Sy - Selasa, 03 Januari 2023
Perppu Cipta Kerja terus Menuai Kritik
Presiden Joko Widodo saat Pembukaan Perdagangan Bursa Efek Indonesia 2023 di Jakarta, Senin (2/1/2023). (Handout Biro Pers Sekretariat Kepresidenan/Kris)

MerahPutih.com - Kebijakan Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dengan dalil sebagai pengisi kekosongan hukum bagi investor dalam dan luar menuai reaksi dari sejumlah kalangan.

Salah satunya dari organisasi SETARA Institute. Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute Sayyidatul Insiyah menilai, langkah yang dilakukan oleh Presiden Jokowi menunjukkan kegagalan sistem legislasi dalam sistem presidensial.

Menurut Sayidatul, dalam sistem presidensial, kekuasaan dan legitimasi rakyat yang dipupuk melalui pemilihan langsung seharusnya tidak dibarengi dengan kewenangan legislasi dalam diri seorang presiden.

Baca Juga:

Perppu Cipta Kerja Dinilai Untuk Gugurkan Putusan MK

Presiden cukup diberikan kewenangan veto atas sebuah produk UU yang tidak disetujuinya.

Tetapi desain konstitusional Indonesia telah terlanjur memberikan kewenangan legislasi itu pada presiden.

"Dampaknya adalah yang tergambar dalam Perppu Cipta Kerja," katanya di Jakarta, Selasa (3/1).

Menurut Sayyidatul, dalil Presiden perihal ancaman ketidakpastian global sebagai parameter kegentingan memaksa justru paradoks dengan apa yang telah digaungkan dalam berbagai pernyataannya.

Yaitu bahwa kondisi perekonomian Indonesia termasuk yang paling tinggi di antara negara-negara anggota G20 dengan capaian sebesar 5,72 persen pada kuartal III 2022 dan angka inflasi dalam posisi yang masih dapat dikendalikan.

"Artinya, ancaman ekonomi global yang didalilkan sebagai kegentingan memaksa dalam pembuatan perppu sama sekali tidak memiliki alasan objektif," ucap Sayyidatul.

Baca Juga:

Kritik Keras Perppu Cipta Kerja, Legislator PKS Ingatkan Jokowi Jangan Arogan

Ia menambahkan, sekalipun konstitusi memberikan kewenangan presiden untuk membuat perppu, namun pembuatannya tidak berarti bahwa secara absolut tergantung kepada penilaian subjektif.

"Melainkan harus didasarkan pada keadaan objektif sebagai parameter kegentingan memaksa," ungkapnya.

Berkaitan dengan syarat objektif, MK melalui Putusan MK No 138/PUU-VII/2009 telah menggariskan syarat adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945, yaitu :

1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU

2. UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai

3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

"Ketidaksinkronan antara pernyataan Presiden dengan alasan dibentuknya perppu perihal kondisi perekonomian Indonesia seharusnya telah menggugurkan syarat pertama," jelas Sayyidatul.

Ia lantas mendesak DPR melalui rapat paripurna untuk tidak memberikan persetujuan terhadap Perppu Cipta Kerja. Dengan demikian, perppu tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

"Pemerintah dan DPR harus tunduk dan patuh terhadap Putusan MK No 91/PUU-XVIII/2020, terutama dalam hal menangguhkan maupun tidak membuat kebijakan/tindakan baru yang bersifat strategis dan berdampak luas," tutup Sayyidatul. (Pon)

Baca Juga:

Perppu Ciptaker: Libur Pekerja Cuma Boleh 1 Hari dalam Seminggu

#Presiden Jokowi #Perppu #UU Cipta Kerja
Bagikan
Ditulis Oleh

Ponco Sulaksono

Bagikan