TIAP anak pasti ingin punya orang tua lengkap. Ibu dan ayah. Apalagi tinggal satu rumah. Hidup sederhana jauh dari masalah. Bahkan, di tengah masalah pun, bila dihadapi bersama keluarga lengkap, utuh, mungkin tidak akan terasa telampau berat.
Namun, tak semua orang bernasib baik. Miya kehilangan suaminya akibat serangan jantung pada 2016. Ia tak menyangka kala itu orang dicintainya meninggal karena masalah jantung padahal sehari-hari telah mengonsumsi makanan sehat. Kepergian sang suami begitu membekas baginya dan kedua anaknya.
Baca juga:
“Kalau ditinggal orang tersayang sudah pasti sedih. Apalagi itu orang mau menemani saya sampai tua nanti. Tapi ia pergi duluan.” ungkap Miya.
Meski begitu, ia tak bisa setiap hari berduka lantaran kehidupan terus berjalan. Miya harus melakoni peran baru sebagai ibu tunggal bagi kedua anaknya.
Berdasar data Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 terdapat 81,2 juta keluarga di Indonesia, sebanyak 19,45 juta keluarga di dalamnya tercatat diperankan ibu tunggal atau perempuan sebagai kepala keluarga.

Sementara, Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 mencatat dari 10,3 juta rumah tangga di Indonesia, sebanyak 15,7 persen perempuan bertindak sebagai kepala keluarga. Penyebab perubahan status sebagai ibu tunggal lantaran perceraian, kematian suami, suami sakit, suami menganggur, dan suami meninggalkan mereka.
Namun waktu terus berjalan, bumi terus berputar, kehidupan terus harus dijalani. Miya tak boleh terus terpuruk dalam kesedihannya itu. Ia terus menjalani hidup dengan kedua anaknya tanpa menoleh pada masa lalunya dengan kedua. Miya juga menjelaskan bahwa dirinya lebih sering melakukan pekerjaan di luar rumah.
Baca juga:
Menyemai Kebaikan Mengajak Orang Terdekat Membantu Masyarakat Terdampak Pandemi
“Biasanya kalau pekerjaan rumah sih yang bantuin pembantu rumah tangga yang pulang pergi.” jelas Miya. Miya merasa agak keberatan jika harus melakukannya sendiri, maka dari itu, Miya membayar jasa pembantu. Hal itu sangat membantunya dalam pekerjaan rumahnya, sehingga ia tak perlu memikirkan pekerjaan rumahnya saat pulang dari kantor.
Bagi Miya, kepergian suaminya, berarti harus menjalani hari-hari sebagai kepala keluarga sendirian. Dosen di salah satu perguruan tinggi swasta tersebut tinggal bersama anaknya, memiliki autis, sempat berkuliah jurusan perhotelan, sementara anak satunya berkulaih di luar negeri. Miya sangat bangga dengan kedua anaknya. Ia tak pernah membedakan keduanya.
Sehari-hari, saat Miya bekerja, pekerjaan rumah dikerjakan asisten rumah tangga. Ia mengaku sangat berat jika semua pekerjaan dilakukan maka penting baginya membagi porsi.

Di tengah kesibukan kerja sekaligus mengurus segala kebutuhan lain, Miya tetap mengalokasikan hari khusus bagi keluarganya. "Kalau hari minggu, kita jalan-jalan sekalian refreshing bareng-bareng.” jelas Miya.
Namun, di masa pandemi COVID-19, ia tak bisa sering berjalan-jalan dengan keluarganya. Ia sangat mengkhawatirkan anak kedua di luar negeri di masa pandemi. Miya biasanya memperbarui kabar anak keduanya melalui sambungan video call.
“Iya, saya kadang merasa capek. Karena apa-apa harus dilakukan sendiri. Untungnya anak-anak saya juga bisa memahami saya.” ungkap Miya saat ditanyakan mengenai lelahnya menjadi seorang ibu tunggal.
Miya mengaku kedua anaknya membuatnya sadar dirinya satu-satunya orang harus memberikan contoh dan perlindungan bagi anak-anaknya. Sehingga, ia terus mendapat kekuatan untuk terus melangkah meski kini tanpa kehadiran suami di sisinya.
Miya berpesan kepada para Ibu tunggal di luar sana agar tetap kuat berjalan walau berliku-liku. “Harus diingat kalau kalian merupakan satu-satunya orang yang mereka bisa andalkan.” pesan Miya. (Mic)
Baca juga:
Saat Muka Politikus Lebih Besar Ketimbang Ucapan Kemenangan Ganda Putri Jagoan Negeri Aing