KERIS adalah senjata tajam golongan belati yang memiliki ragam fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah.
Menukil laman Wikipedia, keris dengan bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, sering kali bilahnya berkelok-kelok, dan banyak di antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu terlihat serat-serat lapisan logam cerah pada bilahnya.
Baca Juga:

Keris atau dhuwung terdiri dari tiga bagian utama, yaitu bilah (wilah atau daun keris), ganja (penopang), dan hulu keris (ukiran, pegangan keris). Bagian yang harus ada adalah bilah. Hulu keris dapat terpisah maupun menyatu dengan bilah. Ganja tidak selalu ada, tapi keris-keris yang baik selalu memilikinya. Keris sebagai senjata dan alat upacara dilindungi oleh sarung keris atau warangka.
Bilah keris merupakan bagian utama yang menjadi identifikasi suatu keris. Pengetahuan mengenai bentuk (dhapur) atau morfologi keris menjadi hal yang penting untuk keperluan identifikasi. Bentuk keris memiliki banyak simbol spiritual selain nilai estetika.
Hal-hal umum yang perlu diperhatikan dalam morfologi keris adalah kelokan (luk), ornamen (ricikan), warna atau pancaran bilah, serta pola pamor. Kombinasi berbagai komponen ini menghasilkan sejumlah bentuk standar (dhapur) keris yang banyak dipaparkan dalam pustaka-pustaka mengenai keris.
Pengaruh waktu memengaruhi gaya pembuatan. Gaya pembuatan keris tercermin dari konsep tangguh, yang biasanya dikaitkan dengan periodisasi sejarah maupun geografis, serta empu yang membuatnya.
Keris menjadi simbol bersatunya seorang hamba dengan Tuhannya. Filosofi ini diambil dari ungkapan “curiga manjing warongko jumbuhing kawula lan gusti” yang artinya 'bersatunya bilah keris dan warangkanya merupakan simbol bersatunya manusia dengan Tuhannya'.
Pada masyarakat Jawa percaya bahwa sejatinya manusia dan Tuhan itu senatiasa menyatu dan melebur tanpa jarak. Mengutip buku Keris dalam Perspektif Keilmuan (2011), keris merupakan simbol dari keinginan, harapan, cita-cita, dan identitas dari pemiliknya (manusia) untuk menghamba kepada Tuhan.
Filsafat dan pengetahuan tentang Tuhan yang dipahami oleh masyarakat Jawa selalu jalan beriringan. Tidak hanya mengarah pada filsafat keilmuan, pemahaman ini juga mengacu pada kehidupan spiritual yang dimiliki oleh masing-masing individu. Benda pusaka dan budaya Jawa memiliki filosofi tertentu yang erat kaitannya dengan ke-Tuhanan. Salah satu benda pusaka tersebut adalah keris.
Baca Juga:

Dipercaya masyarakat Jawa bertujuan untuk mendekatkan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Filosofi ini menjadi salah satu usaha untuk memaknai dan meleburkan diri pada Sang Pencipta (manunggaling kawula lan gusti).
Di sisi lain, keris juga mengandung falsafah konsepsi dari lingga dan yoni (purusa dan perdana) yang mengisyaratkan tentang perkawinan dan kesuburan antara Siwa dan Brahma. Falsafah ini diyakini oleh sebagian besar masyarakat Bali.
Dalam bahasa Bali dikenal ungkapan 'Matannian mawawa keris yang silunglungania' yang artinya 'sebabnya saya membawa keris adalah sebenarnya untuk berani mempertaruhkan nyawa'. Keris dianggap sebagai benda pusaka yang memiliki kekuatan magis dan mistis.
Keris merupakan budaya leluhur yang memuat nilai “tatanan, tuntunan, dan tontonan”. Maksudnya, keris dibuat dengan sentuhan rasa mendalam untuk memenuhi kaidah serta bentuk visualnya.
Kentalnya norma yang melekat pada keris tercermin dari bentuk, fungsi, sejarah, serta pemaknaannya. Keris menjadi simbol yang menyiratkan ketajaman berpikir dan kelembutan hati yang dimiliki oleh seseorang. Tidak hanya dimanfaatkan sebagai senjata, keris juga bisa dijadikan sebagai panduan hidup bagi seseorang
Abdi Dalem Keraton Yogyakarta, Drs. Prodjo Kardono, pernah mengatakan bahwa filosofi keris adalah sebuah mahakarya paripurna. Keris menjadi petunjuk tentang arah dan tujuan hidup manusia. Dalam prosesnya, petunjuk ini patut ditaati oleh manusia, khususnya masyarakat Jawa. Sebab keris merupakan sebuah filosofi “Sangkan paraning dumadi” yang artinya darimana dan kemana manusia harus menuju. Manusia boleh modern, namun jangan lupakan budaya leluhur. (dgs)
Baca Juga: