MerahPutih.com - Wacana rekonsiliasi nasional pasca-kepulangan pimpinan FPI Rizieq Shihab menuai sorotan.
Pengamat politik Karyono Wibowo menilai, jika upaya rekonsiliasi hanya sebatas untuk merangkul kubu Rizieq Shihab, maka menggunakan istilah rekonsiliasi nasional sangat tidak tepat.
"Mungkin lebih tepat menggunakan istilah kompromi politik atau politik akomodatif," jelas Karyono kepada Merahputih.com di Jakarta, Rabu (11/11).
Baca Juga:
Dengan demikian, jika pemerintahan Jokowi-Ma'ruf bersedia melakukan kompromi atau politik akomodatif dengan kubu Rizieq untuk "berdamai" mencari titik temu, maka Presiden Jokowi cukup menunjuk Menkopolhukam Mahfud MD atau siapa pun yang dipandang bisa berperan sebagai utusan.
"Pasalnya, jika hanya untuk merangkul Rizieq atau kubu oposisi, namanya bukan rekonsiliasi nasional," terang Karyono.
Karena, lanjut Karyono, rekonsiliasi harus dipandang sebagai kebutuhan kolektif bangsa.
"Para elite, khususnya yang menjadi pengelola kekuasaan negara dan pemerintahan memiliki tanggung jawab moral untuk menyatukan kembali kelompok masyarakat yang mengalami keterbelahan dan pemisahan secara sosial (segregation)," terang dia.

Direktur Indonesia Public Institute ini sepakat, rekonsiliasi nasional merupakan kebutuhan bangsa agar tidak terjebak ke dalam kubangan konflik yang berkepanjangan. Tetapi, yang terjadi, wacana rekonsiliasi mengalami bias makna dan salah kaprah.
"Rekonsiliasi itu harus memiliki urgensi, tujuan, dan kerangka atau konsep," sebut dia.
Dari aspek urgensi, rekonsiliasi memang diperlukan mengingat sepanjang perjalanan bangsa ini masih terbebani konflik masa lalu.
Namun demikian, tidak mudah untuk mewujudkan rekonsiliasi.
Pasalnya, rekonsiliasi memerlukan komitmen kuat untuk menghapus dendam demi mengakhiri konflik.
Masalahnya, konflik masa lalu justru dikelola untuk tujuan tertentu yang malah memperpanjang dan memeruncing konflik.
"Konflik lama justru kerap direproduksi, diduplikasi, dan dimodifikasi untuk tujuan tertentu," imbuh Karyono.
Ujungnya, yang terjadi bukan rekonsiliasi nasional yang bertujuan untuk mengakhiri konflik, tapi yang terjadi adalah kompromi politik sebatas kepentingan elite. Rekonsiliasi akhirnya terdistorsi menjadi sebatas kompromi elit.
"Upaya rekonsiliasi seperti ini niscaya tidak akan menyelesaikan akar persoalan," tutup Karyono.
Baca Juga:
Sekedar informasi, Rizieq berbicara soal peluang rekonsiliasi dengan pemerintah. Dia menegaskan rekonsiliasi bisa terjadi bila tidak ada lagi kecurangan.
"Kalau ada mengatakan, Habib Rizieq, bisakah ke depan ini kita melakukan rekonsiliasi? Saya katakan sekali lagi, rekonsiliasi hanya bisa berdiri atas dasar niat dan tekad yang baik," kata Rizieq sebagaimana disiarkan oleh kanal YouTube FrontTV, Selasa (10/11).
Ia menjelaskan, pihaknya bukan musuh pemerintah dan musuh negara, namun musuh kezaliman dan kecurangan. Rekonsiliasi bisa terjadi bila kezaliman yang dilarang FPI tidak dilakukan pemerintah.
"Tapi kalau rekonsiliasi berdiri atas dasar kecurangan kezaliman, kejahatan, tidak mungkin. Tidak ada rekonsiliasi," ujarnya. (Knu)
Baca Juga:
Oknum Anggota TNI AU Diproses karena Sambut Kedatangan Rizieq Shihab