Pengamat: Buzzer Timbulkan Informasi Bohong Hingga Bahayakan Keamanan Nasional
Ilustrasi. (PixabaY)
Merahputih.com - Pengamat politik Wempy Hadir menilai, keberadaan sejumlah 'buzzer' di media sosial kini sangatlah berbahaya. Pasalnya, informasi yang mereka berikan cenderung menimbulkan rasa saling benci antar masyarakat.
Menurut Wempy, beberapa konflik sosial yang terjadi belakangan tidak terlepas dari miss informasi yang diterima oleh publik.
Baca Juga:
Viral 'Playing Victim' Anak STM Tak Dibayar Usai Demo, Polisi: Narasi Propaganda
"Informasi tersebut sudah dimanipulasi oleh kepentingan pengguna buzzer demi tercapainya kepentingan mereka. Jadi memang keberadaan buzzer di era teknologi sudah membahayakan situasi keamanan nasional," kata Wempy kepada Merahputih.com di Jakarta, Jumat (4/10).
Wempy melanjutkan, jika yang dilakukan oleh buzzer adalah hal-hal yang positif, tentu akan mendapat dukungan dari publik.
"Demikian sebaliknya. Apakah buzzer ini terorganisasi secara terstruktur atau tidak menjadi pertanyaan kita. Sebab kalau terorganisir tentu ada yang menjadi komandan dari buzzer tersebut," jelas Wempy.
"Kerugiannya adalah terkadang buzzer terlalu make-over alias berlebihan dalam mendandani sebuah isu. Akhirnya Isu tersebut jauh dari realitas yang sesungguhnya. Ini bisa menimbulkan persepsi yang negatif," tambah Wempy.
Direktur Indo Polling Network ini menambahkan, jika buzzer melanggar ketentuan undang-undang tentu perlu ditindak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. "Jadi tidak boleh ada yang dilindungi oleh kepentingan kekuasaan," ungkap dia.
Jika dikelola dengan baik, lanjut Wempy, buzzer bisa menimbulkan keuntungan. "Keuntungannya adalah tentu bisa memberikan informasi kepada publik sehingga publik mendapatkan informasi berkaitan dengan hal tertentu," jelas dia
Wempy berharap, jika eksistensi buzzer lebih banyak mudarat daripada mnafaatnya, maka perlu dievaluasi keberadaannya agar tidak membawa destruktif yang masif ke seluruh penjuru Indonesia.
Seperti diketahui, berbagai kabar bohong mereka sebarkan dan gaungkan di media sosial untuk mempengaruhi opini dan sikap publik. Para pendengung menjadi bagian dari kepentingan politik jangka pendek: mengamankan kebijakan pemerintah.
Baca Juga:
Nyamar Jadi Pelajar, Seorang Satpam Ngaku Dibayar Rp 40 Ribu untuk Ikut Demo
Dalam kasus seleksi calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi dan revisi Undang-Undang KPK, para pendengung menyebarkan agitasi bahwa lembaga itu dikuasai kelompok agama garis keras yang mereka sebut Taliban.
Mereka menyebut Novel Baswedan, penyidik yang dikenal gigih mengusut pelbagai kasus korupsi jumbo, sebagai antek khilafah. Ketika timbul dukungan kepada KPK, mereka menyerang para pendukung itu dengan memberi mereka label pendukung khilafah. (Knu)
Bagikan
Angga Yudha Pratama
Berita Terkait
[HOAKS atau FAKTA]: Pertamina Kasih Duit Rp 7 Juta Buat Netizen yang Unggah Citra Baik di Media Sosial
Akun Medsos yang Hina Bahlil Dilaporkan ke Polisi, Direktur P3S: Sangat Tidak Etis
AMPG Laporkan Akun Medsos yang Hina Bahlil, Polda Metro Jaya Sebut Cuma Konsultasi
RIP Foto! Instagram Ganti Total Tampilan, Reels dan DM Jadi 'Anak Emas'
Pimpinan MPR Dukung Penerapan Kebijakan Satu Orang Satu Akun Media Sosial
Marak Akun Palsu, Komisi I DPR Dorong Kampanye 1 Orang Punya 1 Akun Medsos
Sempat Disebut Meninggal Akibat Kebakaran, Istri Eks PM Nepal Masih Hidup, Dirawat Intensif
Presiden Nepal Yakinkan Semua Pihak, Tuntutan Pengunjuk Rasa Akan Dipenuhi
Klarifikasi Unggahan Anaknya Soal Lengserkan CIA, Menkeu Purbaya: Dia Anak Kecil, Tak Tau Apa-Apa
19 Tewas dalam Demonstrasi Tolak Larangan Medsos dan Serukan Penindakan Korupsi, Perdana Menteri Nepal Mundur