KETIKA Indonesia baru saja merdeka, pondasi yang dibangun oleh para wakil rakyat memang belum begitu kuat karena perbedaan pandangan politik. Sebagian memilih untuk menyusun strategi politik yang bersifat diplomatis, sebagian yang lain memilih untuk menggunakan tangan besi untuk meluluhlantakkan sisa jejak dari penjajah.
Contohnya seperti Kabinet Sutan Sjahrir yang dianggap terlalu tunduk terhadap Belanda oleh kelompok Tan Malaka. Sutan Sjahrir yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri dianggap lebih suka berdiplomasi daripada bersikap tegas terhadap Belanda yang belum sepenuhnya angkat kaki dari Tanah Air. Sedangkan kelompok Tan Malaka yang berseberangan sikap dan prinsip ingin segera merdeka sepenuhnya dari Belanda.
Karena sikap Sjahrir tersebut, kelompok Tan Malaka menculik dirinya pada tanggal 26 Juni 1946. Jenderal Sudirman yang saat itu satu kubu dengan kelompok Tan Malaka bahkan merestui aksi penculikan tersebut. Pemerintah tentu saja tak tinggal diam. Presiden Soekarno akhirnya memberikan tugas kepada Letnan Kolonel Suharto untuk menangkap dalang dari penculikan Sjahrir yaitu Mayor Jenderal Sudarsono.
Baca Juga:

Sebagai bawahan langsung dari Sudarsono, Suharto kemudian berpikir keras menanggapi surat perintah yang langsung diberikan oleh presiden. Suharto enggan bertindak tanpa bukti tertulis yang dituduhkan kepada atasannya. Akhirnya Suharto mengembalikan surat perintah tersebut dan meminta secara khusus agar Jenderal Sudirman yang memberikan perintah langsung untuk menangkap Sudarsono. Karena mangkir dari surat perintah presiden, Sukarno memberikan julukan ofsir koppig yang berarti “perwira keras kepala” kepada Suharto.
Setelah berhadapan langsung dengan Sudarsono, Suharto malah hendak “dikerjai” oleh atasannya tersebut. Melihat hal itu, Suharto tak punya pilihan selain segera memberikan kabar kepada pihak istana. Berkat informasi dari Suharto, pasukan pengawal istana dan presiden berhasil melucuti kelompok Tan Malaka yang tiba pagi hari di istana pada tanggal 3 Juli 1946.
Rupanya Sudarsono ingin menyampaikan surat dari Jenderal Sudirman yang berisi permintaan pembubaran Kabinet Sjahrir dan pembentukan kabinet baru. Seolah tak percaya Jenderal Sudirman memberikan surat seperti itu kepada presiden, Hatta menelepon Jenderal Oerip Soemohardjo untuk menanyakan kebenarannya. Ternyata tanggapan dari Jenderal Oerip hampir serupa seperti yang dirasakan oleh Sukarno dan Hatta.
Ia juga tak percaya Jenderal Sudirman akan meminta pembubaran Kabinet Sjahrir langsung kepada presiden. Sudarsono pun mengaku bahwa beberapa pemimpin politik sipil yang satu kubu dengannya membenarkan bahwa surat tersebut memang ditulis oleh Jenderal Sudirman. Sukarno dan Hatta akhirnya sepakat bahwa tindakan ini merupakan kudeta pertama dalam sejarah politik Indonesia. (Mar)
Baca Juga:
Kekalahan Pasukan Mongol, Peristiwa di Balik Hari Jadi Surabaya