Penangkapan Aktivis Robertus Robert Cederai Negara Hukum dan Demokrasi

Andika PratamaAndika Pratama - Kamis, 07 Maret 2019
Penangkapan Aktivis Robertus Robert Cederai Negara Hukum dan Demokrasi
Robertus Robet (Foto: Istimewa)

MerahPutih.com - Tim Advokasi Kebebasan Berekspresi menilai penangkapan aktivis Robertus Robet mencedrai negara hukum dan demokrasi. Robet ditangkap karena dianggap melanggar UU ITE ketika bernyanyi dalam Aksi Kamisan di Monas, Jakarta, pada Kamis (28/2) lalu.

Alasan penangkapan Robet adalah pasal 45 ayat (2) Jo pasal 28 ayat (2) UU No 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 tahun 2009 tentang ITE dan atau/ Pasal 14 ayat (2) jo Pasal 15 UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 207 KUHP.

Aksi Kamisan tersebut menyoroti rencana pemerintah untuk menempatkan TNI pada kementerian-kementerian sipil. Rencana ini jelas bertentangan dengan fungsi TNI sebagai penjaga pertahanan negara sebagaimana diatur Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 & amandemennya, UU TNI & TAP MPR VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Hal ini juga berlawanan dengan agenda reformasi TNI.

Robertus Robet

Memasukan TNI di kementerian-kementerian sipil juga mengingatkan pada dwi fungsi ABRI pada masa Orde Baru yg telah dihapus melalui TAP MPR X/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyemangat dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara dan TAP MPR VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri.

Salah satu anggota tim yang juga Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yati Andriani menilai Robet tidak sedikitpun menghina institusi TNI. Dalam refleksinya Robet justru mengatakan mencintai TNI dalam artian mendorong TNI yang profesional.

"Baginya, menempatkan TNI di kementerian sipil artinya menempatkan TNI di luar fungsi pertahanan yang akan mengganggu profesionalitas TNI seperti telah ditunjukkan di Orde Baru," ujar Yati dalam keterangan tertulis, Kamis (7/3).

Menurut Yati, pasal-pasal yang dikenakan adalah pasal-pasal yang selama ini kerap disalahgunakan untuk merepresi kebebasan berekspresi (draconian laws) dan dianggap tidak tepat.

Contohnya Pasal 207 KUHP berbunyi "barang siapa dengan sengaja di muka umum menghina suatu penguasa atau badan hukum akan diancam pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan.

Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 dalam pertimbangannya mengatakan "dalam masyarakat demokratik yang modern maka delik penghinaan tidak boleh lagi digunakan untuk pemerintah (pusat dan daerah), maupun pejabat pemerintah (pusat dan
daerah)."

Bagian lain putusan tersebut mengatakan "Menimbang bahwa dalam kaitan pemberlakuan pasal 207 KUHPidana bagi delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana, halnya dengan penghinaan terhadap penguasa atau hadan publik (gestelde macht of openbaar lichaam)
lainnya, memang seharusnya penuntutan terhadapnya dilakukan atas dasar
pengaduan (bij klacht).

Sedangkan pasal 28 ayat (2) jo, UU ITE mengatur "setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)."

"Penangkapan kepada Robertus Robet adalah ancaman kebebasan sipil di masa reformasi," imbuhnya.

Oleh karena itu, menurut Yati, Robet tidak menyebarkan informasi apapun melalui elektronik karena yang dianggap masalah adalah refleksinya. Kemudian, lanjut dia, refleksi yang memberikan komentar apalagi atas kajian akademis atas suatu kebijakan tidak dapat dikategorikan sebagai kebencian atau permusuhan.

Robertus Robet

"TNI jelas bukan individu dan tidak bisa "dikecilkan" menjadi kelompok masyarakat tertentu karena TNI adalah lembaga negara,"

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas Tim Advokasi Kebebasan Berekspresi menyatakan penangkapan terhadap Robertus Robet tidak memiliki dasar dan mencederai negara hukum dan demokrasi.

"Oleh karenanya Robertus Robet harus segera dibebaskan demi hukum dan keadilan," pungkas Yati.

Tim Advokasi Kebebasan Berekspresi (KontraS, YLBHI, LBH Jakarta, Imparsial, Indonesian Legal Roundtable, Lokataru Kantor Hukum dan HAM, AJAR, Amnesty Internasional Indonesia, Protection Internasional, hakasasi.id, Perludem, Elsam, sorgemagz.com, Solidaritas Perempuan, Jurnal Perempuan). (Pon)

#Kontras #YLBHI #Aktivis 1998
Bagikan
Ditulis Oleh

Ponco Sulaksono

Bagikan