MEREKA rela menghabiskan setengah sampai satu hari penuh menatap laptop ataupun komputer pribadinya. Bukan menghasilkan konten diunggah ke media sosial, melainkan sibuk menyusun angka pemrograman. Angka-angka tersebut mereka susun dengan penuh ketelitian untuk menghasilkan game Indonesia yang berkualitas.
Mengutip BitDegree, ada lima langkah untuk membuat game, yakni riset beserta fitur, membuatkan dokumen desain game, perangkat lunak didukung perangkat keras memadai, mendalami pemrograman (JavaScript, Java, Swift, sampai C) dan terakhir mengetes kelayakan game tersebut sebelum dipasarkan.
Baca Juga:
Anak-anak muda Indonesia ini berhasil melewati semua tahapan itu. Di balik layar, mereka menelurkan game-game yang bisa dimainkan seluruh gamer Indonesia hingga pelosok sekalipun. Siapa saja mereka?
1. Eldwin Viriya

Own Games adalah usaha yang diinisiasi oleh Eldwin Viriya dan Jefvin Viriya. Eldwin bergabung sebagai mahasiswa program studi Teknik Informatika Universitas Katolik Parahyangan pada 2007. Dia mengetahui bakatnya saat aktif di sekolah menengah sebagai anggota klub komputer divisi desain. Seiring berjalannya waktu, pasca lulus kuliah, Eldwin mengambil tugas sebagai dosen ilmu praktikum di Unpar.
Di tengah kesibukannya sebagai pengajar, Eldwin membagi waktu dengan Own Games yang baru berdiri dan mendesain serta melaksanakan coding di saat senggang. Hasilnya, jadilah game Tahu Bulat yang sukses di pasar Android.
Pengembang game itu berdomisili di Bandung. Didirikan pada 2013, perusahaan ini memproduksi berbagai permainan, salah satunya Tahu Bulat. Game tersebut ramai diunduh oleh jutaan warga Indonesia dan mengalahkan Clash of Clans di top chart aplikasi Google Play pada 2016.
2. Arief Widhiyasa

Arief Widhiyasa adalah satu dari 17 orang pendiri badan usaha itu. Dia menjadi Chief Executive Officer yang memimpin operasi pembuatan game. Arief sudah mencintai game sejak kecil, sehingga dia mengenakan kacamata saat duduk di sekolah dasar akibat kebanyakan bermain. Dia juga mengambil langkah paling berisiko dalam hidupnya, yakni keluar dari perkuliahan Teknik Informatika ITB.
Ia kemudian melanjutkan kisah dengan Agate Studio. Arief rela dibayar dengan gaji Rp 50 ribu dengan jam kerja 15 jam, sebelum perusahaan game itu berjaya. Perjuangan Arief dan kawan-kawan terbayarkan lewat kolaborasi bersama Electronic Arts, Square Enix, hingga Coca-Cola. Agate Studio sudah didirikan pada 2009. Pengembang ini berdomisili di Bandung seperti halnya pesaingnya. Perusahaan tersebut dibentuk oleh 17 orang mahasiswa penggemar game. Mereka telah memunculkan berbagai game seperti Valthirian Arc, Football Saga 1&2, sampai Tirta.
Baca Juga:
3. Kris Antoni Hadiputra

Kris Antoni Hadiputra dan Jonathan Samuel adalah pencetus Toge Productions. Saat awal berkarier, Kris membuat game bertajuk Infectonator: Survivors. Namun, game ini hanya bisa dimainkan di lamannya saja. Namun, ia dan timnya berhasil membuat game lainnya seperti My Lovely Daughter, Rising Hell, Necronator: Dead Wrong, dan terbaru di tahun depan, Coffee Talk: Hibiscus & Butterfly.
Pengembang asal Tangerang ini memilih nama Toge Productions yang berasal dari ‘tauge,’ yang berarti cepat beradaptasi dan bermanfaat positif bagi masyarakat. Perusahaan game ini sudah memenangkan penghargaan Best Storytelling dan Best Visual Art di SEA Games 2018.
4. Rachmad Imron

Digital Happiness berdiri pada 2013. Walau namanya merujuk kebahagiaan secara digital, nyatanya game yang dikembangkannya bisa memacu jantung pemainnya. Game-game horor seperti DreadEye VR, DreadOut: Keepers In The Dark, DreadOut, dan DreadOut 2 dikembangkan oleh Digital Happiness, yang memiliki Rachmad Imron di balik kesuksesannya.
Rachmad berkuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan lulus pada 2001. Lalu, dia menjadi dosen pemodelan digital pada 2001-2003. DreadOut dibuat oleh Rachmad pada 2010, sebelum studionya berdiri resmi. Pemuda ini dengan rekan-rekannya mengerjakan game tersebut dengan mesin pendukung bernama Unity Engine, yang membuat mereka harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 21 juta. Pergantian tema cerita, resolusi, dan mengeluarkan biaya total Rp 300 juta dilakukan oleh pengembang game ini agar DreadOut (2014) bisa memuaskan para pemain. Perjuangan Rachmad terbayarkan dengan antusias pemain game Indonesia. Saking populernya, game ini diangkat menjadi sebuah film berjudul sama pada 2019. (bed)
Baca Juga: