Mengapa Justru Pelajar Paling Banyak Ditangkap Saat Kerusuhan?

Andika PratamaAndika Pratama - Jumat, 16 Oktober 2020
Mengapa Justru Pelajar Paling Banyak Ditangkap Saat Kerusuhan?
Sekelompok remaja diamankan jajaran Polres Metro Jakarta Selatan dalam patroli mencegah pergerakan massa aksi penolakan UU Cipta Kerja ke Istana Merdeka, Selasa (13/10/2020) (ANTARA/Laily Rahmawaty)

MerahPutih.com - Ratusan anak-anak yang mayoritas pelajar ditangkap karena kedapatan aksi unjuk rasa menentang UU Cipta Kerja. Beberapa diantara mereka bahkan terlibat dalam insiden kekerasan baik terhadap fasilitas umum dan aparat kepolisian.

Dari informasi Kepolisian, anak-anak tersebut mayoritas pelajar SMP hingga SMA. Bahkan, yang lebih miris, ada juga anak SD yang terlibat.

Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus mengatakan, pihaknya turut menyita sejumlah senjata tajam dari perusuh demo tolak Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law.

Baca Juga

Ombudsman Minta Kapolri Perintahkan Anak Buahnya Hindari Cara Represif Tangani Unras

"Kami sudah razia pun di dalam tasnya ada yang membawa ketapel, batu, macam-macam. Bahkan, yang diamankan oleh Polres Metro Jakarta Pusat ada yang membawa golok. Memang para anarkis, para perusuh ini," ucap Yusri .

Beberapa pelajar yang diamanakan pada demo, Selasa 13 Oktober mengaku juga ikut aksi Kamis 8 Oktober 2020 yang juga berujung ricuh. Mereka mengaku ikut unjuk rasa tersebut setelah dapat undangan dari media sosial dan ajakan teman-temannya.

"Kasihan, ini yang akan kita selidiki semuanya. Jangan jadi korban anak-anak kita ini, anak-anak SMP, SMA yang diajak untuk melakukan (demo)," kata dia.

Yusri menambahkan, dari 1.377 orang yang mereka amankan, sebagian besar masih berstatus pelajar. Mereka berasal dari berbagai daerah seperti Jawa Barat, dan Banten.

Penyidik sedang melakukan pemeriksaan secara intesif untuk menentukkan status dari 1.377 orang, namun sebagian besar yang berstatus pelajar sudah dipulangkan.

“Ada 5 anak SD yang umurnya sekitar 10 tahun. Ini kita ambil keterangan, sebagian kami pulangkan dengan syarat, harus orangtuanya yang mengambil,” ujar dia.

Yusri pun menegaskan, tak ada rencana mempersulit penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) mereka.

Maraknya pelibatan anak atau dilibatkan dalam kegiatan demonstrasi penolakan UU Ciptakerja di berbagai daerah oleh masyarakat terlihat sangat massif.

Puluhan pelajar terjaring razia unjuk rasa diboyong ke Mapolsek Tambora, Jakarta Barat, Selasa (13/10/2020). (ANTARA/HO-Polres Metro Jakarta Barat)
Puluhan pelajar terjaring razia unjuk rasa diboyong ke Mapolsek Tambora, Jakarta Barat, Selasa (13/10/2020). (ANTARA/HO-Polres Metro Jakarta Barat)

Sebagian anak terlibat melalui ajakan media sosial dengan narasi-narasi yang dapat berpotensi memancing emosi anak untuk ikut aksi demonstrasi.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra menuturkan, mayoritas anak-anak peserta aksi yang ditemuinya nekat ikut demo karena merasa bosan lantaran harus belajar di rumah.

"Saya menghampiri anak SMP. Ia mengaku naik kereta dari Tanggerang ke sini. Ikut ini ajakan dari teman temannya di sosial media yang dia mengikuti grupnya," ungkap Jasra

Jasra menyebut, situasi anak - anak dalam demo deminstrasi kelihatan berkelompok kelompok dan tidak memperhatikan orasi dariobil komando.

Pengamatan KPAI dari tahun 2017 sampai 2019 pelibatan anak dalam kampanye Pilkada, Pilpres trennya meningkat. Namun, kenyataannya anak anak lebih massif pada aksi penolakan RUU, seperti RKUHP, RUU KPK, RUU HIP, dan Undang Undang Cipta Kerja.

"Kekerasan dan kerusuhan justru banyak terjadi disini yang melibatkan anak anak," jelas Jasra.

Dalam hal ini, anak-anak menjadi kelompok rentan didalam lautan massa, apalagi kondisi pembatasan selama pandemi, menambah ketertekanan anak.

Tentu dengan membanjirnya informasi ini, menyebabkan anak anak mudah terlibat, akibat kondisi psikologis mereka. Ditambah kepemahaman mereka yang masih dalam tahap berkembang disertai emosional yang belum stabil.

Maka memudahkan anak anak menjadi martir kekerasan. Ini yang harus disadari para penyelenggara demonstrasi.

"Tanpa harus bilang mereka sedang mengajak anak pada ancaman jiwa dan mudahnya mereka terpengaruh dalam psikologis aksi massa," jelas Jasra.

Selain itu, anak - anak yang akrab dengan gadget dan produksi ekspresi politik di gadget yang masuk ke akun dan grup mereka, menyebabkan anak banyak mengkonsumsi ekspresi politik hari ini.

Dengan informasi yang sangat terbatas diterimanya, namun karena ramai di akun dan medsos mereka, menyebabkan mereka sampai melakukan aksi.

Ditambah latar belakang anak dalam perlindungan keluarga yang minim. Seperti putus sekolah, orang tua jarang pulang karena tempat kerja yang jauh, PJJ yang berakhir menjadi aktifitas pengajaran offline yang hanya berujung penugasan pekerjaan rumah.

Jasra mengaku sangat khawatir bila kondisi ini terus berlangsung berhari hari. Maka trennya anak anak akan semakin banyak yang terlibat. Dan kecenderungn demonstrasi rusuh selalu melibatkan anak anak.

"Karena mereka tidak sekuat orang dewasa dan muda terpengaruh. Bayangkan saja pengamanan kepolisian lebih banyak anak anak dibanding orang dewasanya," ungkap Jasra.

"Padahal kita tahu anak anak hadir di aksi dan terus menjadi hal yang semakin buruk dari dampak ajakan orang dewasa," terang dia.

Ketua KPAI Susanto mendorong Pemerintah, dan Pemerintah Daerah untuk melakukan upaya edukasi dan sosialisasi tentang hak anak dalam menyuarakan pendapat secara baik, aman dan bermakna sesuai dengan konteknya.

Edukasi ini penting dilakukan agar anak mendapatkan Informasi yang Layak bagi Anak serta berada pada wadah yang tepat yang merupakan bagian hak-hak anak untuk mengetahui dan mendapatkanya.

"Bahkan mendorong optimalisasi peran Forum Anak, Organisasi Pelajar, dan komunitas kelompok anak lainnya sebagai sarana edukasi dan aktualisasi partisipasi anak," terang Susanto.

Ia juga meminta orang tua, sekolah, masyarakat untuk memastikan anak tidak ikut demo dalam situasi yang memiliki resiko tinggi terhadap keamanan dan keselamatan anak.

Tak hanya itu, Polisi juga diminta melakukan upaya-upaya persuasif kepada anak, melakukan sosialisasi agar kendaraan yang melintas tidak memberikan tumpangan kepada anak yang akan menuju ke area unjuk rasa.

Anak-anak yang berada dalam pengamanan petugas dan atau dilanjutkan proses hukumnya, maka harus diupayakan bahwa penahanan anak harus menjadi pilihan terakhir.

"Pengembalian anak yang terlibat demonstrasi kepada orang tua untuk dibina menjadi upaya prioritas," terang Jasra.

Penanganan anak yang berhadapan dengan hukum harus sesuai dengan UU RI No.35 Tahun 2014 jo UU 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan UU RI No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak di semua unit Kepolisan yang ditugaskan menangani demo (PPA, Kamneg, Resmob, Krimum).

'Upaya diversi menjadi prioritas bila harus diproses secara hukum dengan memastikan koordinasikan dengan BAPAS, LPKS, dan Peksos untuk sarana yang lebih memadai bila harus menjalani proses hukum," papar Susanto.

Baca Juga

Merasa Jadi Korban Saat Demo Tolak UU Ciptaker? Lapor Saja ke LPSK

Mengingat masa sekarang sebagian besar anak-anak melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), maka KPAI meminta para pihak agar peserta didik tetap belajar melalui media yang disepakati.

"Guru diharapkan menguatkan kerjasama dengan orang tua dan anak untuk memastikan anak berada dalam pengawasan untuk menghindari agar anak-anak tidak mengikuti demonstrasi," tutup Susanto. (Knu)

#UU Cipta Kerja #Demo UU Cipta Kerja
Bagikan
Bagikan