SEJUMLAH komentar yang menjadi buah bibir kini mengacu pada aksi seorang pawang hujan di perhelatan MotoGP yang digelar Minggu 20/3 di Mandalika. Raden Roro Istiati Wulandari beraksi di dalam sirkuit, menggunakan mangkok emas. Sembari memutar-mutarkan dan memukulkan pengaduk pada mangkok emas, ia juga melafalkan doa. Dia pun terlihat beraksi selama setengah jam di pinggiran sirkuit.
Pawang hujan adalah julukan dari masyarakat Indonesia kepada seseorang yang ahli dalam mengendalikan hujan atau cuaca. Biasanya, orang tersebut mengatur cuaca dengan memindahkan awan. Menjadi pawang hujan memang bukan profesi yang umum pada masyarakat. Pasalnya, profesi ini sering dikaitkan dengan hal mistis. Bahkan, sejumlah pawang hujan juga kerap dijuluki sebagai dukun.
Baca Juga:
Pawang Hujan hingga Marc Marquez Absen, Momen Menarik di MotoGP Mandalika 2022
Dukun Pangkeng

Dalam tradisi masyarakat Betawi, pawang hujan pada jaman dahulu dikenal dengan istilah Dukun Pangkeng. Ia merupakan seseorang yang dianggap mempunyai ilmu ghaib untuk memindahkan energi hujan untuk turun di wilayah lain. Dukun pangkeng selalu ada dalam aneka hajat yang digelar orang Betawi.
Keberadaan Dukun Pangkeng tidak melulu soal percaya kemampuan mistis, namun dalam tradisi Betawi, sosok yang saat ritual duduk di dalam kerangkeng bambu memang sudah menjadi bagian dari adat istiadat Betawi yang sulit dihilangkan. Selain itu, tidak hanya berperan menangkal hujan turun, dukun rangkeng juga dipercaya punya kemampuan menarik minat khalayak untuk menghadiri sebuah hajat.
Masyarakat Betawi beruntung, sosok Dukun Pangkeng masih eksis meski zaman sudah semakin modern. Selain diwariskan secara turun-temurun, rupanya ilmu Dukun Pangkeng juga tercatat dalam kitab mujarobat yang ditulis pada zaman Sunan Kalijaga.
Tukang Nerang Hujan

Pawang hujan di Bali dikenal dengan sebutan 'Tukang Nerang Hujan' yang dilakukan secara personal. Ritual nerang hujan yang paling penting adalah harus didasari oleh rasa tulus untuk memohon kepada alam semesta dan Tuhan agar berkenan untuk tidak menurunkan hujan di suatu lokasi yang dimohonkan.
Seorang Tukang Nerang Hujan biasanya menggunakan sejumlah sarana dalam melakukan ritual Nerang, yakni dua sarana utama berupa liligundi dan garam, serta perapian yang menggunakan sarana serabut kelapa (sambuk).
Kedua sarana utama, yakni liligundi dan garam didoakannya pada tengah malam sehari atau dua hari sebelum melakukan ritual Nerang. Proses mendoakan ini dilakukan di kamar suci milik Tukang Nerang Hujan dan membutuhkan waktu cukup lama, sekitar tiga hingga empat jam.
Saat ritual Nerang sedang berlangsung, Tukang Nerang Hujan harus puasa dan memusatkan pikiran terhadap permohonan agar alam semesta dan Tuhan berkenan mengabulkan permohonannya untuk tidak menurunkan hujan. Di samping itu, Tukang Nerang Hujan juga melakukan 'Ngajegang Pajati' dan memberikan lelaban kepada Butha Kala dengan bersaranakan segehan brumbun.
Baca Juga:
Lihat Primbon

Oleh masyarakat di Jawa praktik memindahkan hujan lebih merupakan cerminan tradisi kolektif ketimbang personal. Tradisi pengendalian hujan merupakan berasal dari primbon atau kitab warisan leluhur Jawa.
Di beberapa daerah perdesaan ada kebiasaan masyarakat yang masih melemparkan celana dalam perempuan ke atas genteng untuk menolak hujan. Selain itu, juga ada praktik menusuk cabai dan bawang untuk kemudian dilemparkan ke atas.
Cara-cara semacam itu tertera dalam primbon, sehingga masyarakat tinggal mengikuti panduannya. Tetapi, tidak sembarang orang langsung bisa mempraktikkan ritual tersebut. Ada persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu semisal tirakat, puasa, membersihkan jiwa, serta memberi sesajen.
Tak hanya panduan sebelum melakukan ritual memindahkan hujan, di dalam primbon juga sudah tertulis sejumlah mantra untuk melanjarkan ritual tersebut. Oleh sejumlah orang, mantra itu dipercaya merupakan kesepakatan nenek moyang orang Jawa dengan roh alam.
Nyarang Hujan

Dalam tradisi Sunda, Nyarang Hujan yakni meminta bantuan pawang hujan untuk menahan atau memindahkan hujan. Nyarang hujan dalam tradisi Sunda masih mengambil dari ajaran agama Islam. Pawang hujan akan melakukan sholat lima waktu dengan khusyuk, berpuasa mutih, dan memperbanyak dzikir.
Dalam tradisi Sunda juga mengenal orang-orang pintar yang dianggap bisa memindahkan hujan. Mereka adalah para sesepuh yang dimintai doa oleh orang-orang yang memiliki hajatan. Para sesepuh itu tidak perlu datang ke tempat acara. Mereka dapat melakukan proses nyarang tanpa harus hadir.
Pada masyarakat Indonesia belum sepenuhnya ‘modern’. Hal itulah yang kemudian menyebabkan beragam tradisi, seperti memindahkan hujan, tetap lestari hingga saat ini. Keberadaan pawang hujan di Nusantara merupakan fakta yang sulit terelakkan. Ini terkait erat dengan tradisi dan budaya di setiap daerah. Eksistensi para pawang hujan bisa ditelusuri dari tradisi setiap daerah dan sudah sepatutnya kita bangga akan tradisi dan adat Nusantara. (DGS)
Baca Juga: