KALAU kamu diminta menyebutkan nama-nama penyair Indonesia, kemungkinan besar yang keluar adalah nama laki-laki. Chairil Anwar hampir pasti masuk di dalamnya. Selain itu siapa lagi? Dari generasi yang lebih muda ada Sapardi Djoko Damono yang meskipun juga telah tiada, puisi-puisi karyanya telah menjadi lagu dan film, serta menginspirasi banyak penyair muda yang hingga kini masih produktif.
Kalau kamu bisa menyebutkan penyair yang masih hidup, nama yang kamu tahu biasanya M. Aan Mansyur, penulis puisi-puisinya Rangga di film Ada Apa dengan Cinta II. Satu lagi mungkin Joko Pinurbo atau Jokpin yang pernah sangat aktif di Twitter dengan puisi-puisi pendek menggigit hingga memunculkan genre puitwit (puisi-twitter).
Baca juga:
Perjalanan Karya Sastra yang Tak Pernah Mati Meski Terbakar Waktu
Lalu, mana nama-nama penyair perempuan? Dibandingkan dengan laki-laki, jumlah penyair perempuan memang lebih sedikit. Namun, bukan berarti tidak ada. Mereka kadang tidak tercatat, atau karyanya tidak diakui dalam sastra arus utama.
Misalnya dalam buku Antologi Puisi Indonesia: Kumpulan Pilihan Yayasan Lontar (Yayasan Lontar Nusantara, 2017), ada 248 penyair dengan karya-karya pilihan mereka dalam buku setebal hampir 800 halaman. Dari angka tersebut, perempuan yang tercatat sebagai penyair dari tahun 1920 hingga tahun 2000 hanya ada 26 penyair atau sekitar 10 persen. Padahal, banyak perempuan penyair yang namanya tidak masuk di sana.
Agar kamu lebih mengenal perempuan penyair di Indonesia, berikut empat nama penulis yang sudah malang melintang di dunia sastra. Sebutlah namanya jika nanti ada yang bertanya, "Siapa penyair perempuan Indonesia yang kamu tahu?"
Oka Rusmini

Lahir di Jakarta, 11 Juli 1967, penyair ini sekarang berdomisili di Denpasar, Bali. Selain puisi, dia juga menulis novel, dan cerita pendek. Karya-karyanya yang diterbitkan antara lain Monolog Pohon (kumpulan puisi, 1997), Tarian Bumi (novel, 2000), Sagra (novel, 2001), Kenanga (novel, 2003), Patiwangi (kumpulan puisi, 2003), Warna Kita (kumpulan puisi, 2007), Pandora (kumpulan puisi, 2008), Tempurung (novel, 2010), Akar Pule (kumpulan cerpen, 2012), Saiban (kumpulan puisi, 2014), Men Coblong (kumpulan esai, 2019), dan Koplak (novel, 2019).
Oka menerima Penghargaan Puisi Terbaik dari Jurnal Puisi 2002. Setahun setelahnya, Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan, memberinya Penghargaan Apresiasi Sastra Karya Sastra untuk novelnya Tarian Bumi.
Pada 2012, ia menerima Penghargaan Apresiasi Sastra dari Badan Pengembangan dan Pembudidayaan Bahasa, Kementerian Pendidikan Republik Indonesia, dan Penghargaan Penulisan Asia Tenggara, Bangkok, Thailand, untuk novelnya Tempurung. Buku puisinya Saiban (2014) meraih penghargaan sastra nasional Kusala Sastra Khatulistiwa 2013-2014.
Baca juga:
Marga T, Kontribusi Penulis Keturunan Tionghoa dalam Sastra Indonesia
Dorothea Rosa Herliany

Penyair yang lahir di Magelang, 20 Oktober 1963 ini menempuh pendidikan di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Sanata Dharma, Yogyakarta (1987). Selulus dari IKIP Sanata Dharma, dia pernah bekerja menjadi guru, wartawan, dan penulis lepas. Di samping menulis puisi, dia juga menulis cerpen, esai, dan laporan budaya.
Dorothea mulai menulis sejak tahun 1985 yang dipublikasikan di berbagai harian dan majalah, yaitu Horison, Basis, Dewan Sastra (Malaysia), Suara Pembaruan, Mutiara, Pikiran Rakyat, Surabaya Post, Jawa Pos, Citra Yogya, Kompas, Media Indonesia, Sarinah, Kalam, Republika, dan Pelita.
Beberapa karyanya yang telah dibukukan antara lain Nyanyian Gaduh (kumpulan puisi, 1987), Matahari yang Mengalir (kumpulan puisi, 1990), Kepompong Sunyi (kumpulan puisi, 1993), Blencong (kumpulan cerpen, 1995), Nikah Ilalang (kumpulan puisi, 1995), Mimpi Gugur Daun Zaitun (kumpulan cerpen, 1999), Kill the Radio (kumpulan puisi, 2001), Santa Rosa (kumpulan puisi, 2006), dan Isinga (roman, 2015).
Cyntha Hariadi

Penyair ini menjadi salah satu pemenang Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2015 untuk buku pertamanya, Ibu Mendulang Anak Berlari. Buku ini juga menjadi finalis Kusala Sastra Khatulistiwa tahun yang sama.
“Dengan bahasa yang sederhana, naskah ini berhasil memotret kekompleksan sebuah pengalaman menjadi ibu dengan menyulap detail-detail banal kehidupan domestik menjadi sesuatu yang menakjubkan dan hampir sureal,” demikian dikatakan dewan juri sayembara DKJ.
Penulis yang kariernya berawal sebagai copywriter ini juga berhasil masuk sebagai finalis Kusala Sastra Khatulistiwa 2018. Kali itu dalam kategori yang berbeda untuk kumpulan cerpen Manifesto Flora. Bukunya yang ketiga, Kokokan Mencari Arumbawangi, sebuah novel dongeng menjadi salah satu Buku Rekomendasi Majalah Tempo 2021.
Gratiagusti Chananya Rompas

Penyair yang biasa disapa Anya ini lahir di Jakarta, 19 Agustus 1979. Ia belajar Sastra Inggris di Universitas Indonesia, Depok (2003) dan memperoleh gelar master dalam The Gothic Imagination dari University of Stirling, Skotlandia (2005).
Dia adalah salah satu pendiri Komunitas Bunga Matahari, sebuah komunitas puisi Indonesia yang telah merangkul banyak penggemar puisi dengan slogannya “semua bisa berpuisi”. Dia juga terlibat dalam Selatan, sebuah jurnal sastra daring dalam Bahasa Indonesia, dan Paviliun Puisi, acara open mic bulanan yang terbuka untuk penyair, komunitas puisi, dan seniman.
Kumpulan puisinya adalah Kota Ini Kembang Api dan Non-Spesifik, keduanya diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Novelnya e___y baru terbit pada Maret 2022. (aru)
Baca juga: