PARA pejuang Indonesia seolah tak pernah kehabisan akal untuk mempertahankan bangsa dan negara tercinta. Pada 23 Agustus 1945, telah terbentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang bertujuan menjamin ketenteraman umum bagi masyarakat.
Untuk menindaklanjuti hal tersebut, Presiden Soekarno, melalui Radio Republik Indonesia (RRI), mengumumkan agar berbagai daerah harus sesegera mungkin membentuk BKR.
BKR lalu terbentuk di Jawa Barat, dipelopori oleh para bekas PETA, Chudancho, dan Heiho. Para jagoan dari Karawang juga bergabung dalam BKR di bawah kepemimpinan Nagdon Suraji.

Kelahiran BKR dan sejumlah laskar perjuangan di daerah membuat rakyat mengambil gerakan sendiri untuk melucuti tentara Jepang, termasuk di Karawang. Bahkan, para anggota laskar berlomba untuk memperbanyak jumlah senjata sehingga sering terjadi konflik di antarsesama.
Baca juga:
LaNyalla: Pandemi Membuka Mata Soal Kualitas Kesehatan Masyarakat
Pelucutan terhadap tentara Jepang tidak hanya terjadi di Rengasdengklok, tetapi juga di Kota Karawang. Gedung Hongbu (sekarang menjadi Hotel Surya Kencana di Jalan Tuparev); Gedung Ho Ceng Po (sekarang di sebelah Swalayan Hero); Gedung Pegadaian tempat perwira tinggi Jepang atau Kempetai (sekarang dipakai oleh Corps Polisi Militer atau CPM), dan kantor polisi setingkat resort di Gang Buntu, Jalan Brikpol Nasuha, menjadi tempat-tempat strategis markas Jepang untuk digasak tanpa perlawanan yang berarti.
Tidak hanya itu, rakyat Karawang juga mencegat rombongan kolone Kaigun atau Angkatan Laut Jepang yang berkekuatan seratus orang yang sedang melarikan diri dari Jakarta menuju Ciater.

Senjata pasukan Jepang tersebut dilucuti. Mereka kemudian dibunuh. Rakyat Indonesia tidak tinggal diam. Mereka juga melakukan aksi pengadangan kereta api yang lewat dan melakukan pemeriksaan ketat.
Beralih ke para jago di wilayah Purwakarta, mereka juga merebut senjata milik Jepang. Awalnya, mereka ingin bicara secara baik-baik, tapi perundingan dengan Jepang mengalami jalan buntu sehingga penyerbuan markas Rikugun (Angkatan Darat Jepang) harus dilakukan para pemuda lokal. Dengan terpaksa, tentara Jepang menyerahkan senjata mereka. Hasil rampasan itu kemudian dikumpulkan di Kantor Polisi Cipaisan.
Baca juga:
Masih Pandemi, Sidang Tahunan MPR Satu Rangkaian Sidang Bersama DPR dan DPD
Perampasan senjata tentara Jepang tidak hanya terjadi di Jawa Barat, tapi juga di bagian Jawa Timur, terutama Surabaya. Perebutan senjata Jepang dilakukan arek-arek Surabaya karena ada banyak gudang senjata Jepang yang terletak di Surabaya. Bedanya, perampasan senjata tidak dilakukan langsung menuju gudang senjata.
Dikutip Republika, Pendiri Komunitas Roodebrug Soerabaia Ady Setyawan menjelaskan, dalam usaha merebut persenjataan Jepang itu, rakyat Surabaya memang tidak langsung menuju ke gudang senjata. Mereka merebut senjata dari para tentara Jepang yang sedang melakukan patroli terlebih dahulu.
"Dicegati, diambili senjatanya. Setelah itu, mereka mulai menyerang pos-pos tentara kecil milik Jepang. Sudah mulai aksi balas dendam saat itu. Orang-orang yang kejam di jalanan itu sudah mulai dihabisi sama rakyat Indonesia," jelas Ady seperti diwartakan Republika.

Gudang senjata terbesar Jepang se-Asia Tenggara, Don Bosco, menjadi sasaran selanjutnya. "Kalau tidak salah, dari Don Bosco ini ada sekitar 400 ribu pucuk senjata yang berhasil direbut," ungkap Ady.
Pada penyerangan Don Bosco, terdapat sejumlah senjata pistol dan karaben Arisaka pendek, pistol Colt automatik dengan satu magasin cadangan dari sarungnya, dan seluruh senjata api berbagi jenis beserta amunisi dan alat peledak.
Penjarahan gudang senjata itu menghasilkan dua gerbong penuh senjata yang akan dikirimkan untuk para pejuang di Jawa Tengah dan Jakarta.
Nugroho Notosusanto menyebut salah satu penyerbuan senjata yang berkesan ialah ketika penyerbuan Markas Besar Manirnir Jepang di daerah Gubeng, tepatnya 2 Oktober 1945.
Markas Besar Marinir Jepang diserbu dengan tembakan mitraliur dan karaben, tetapi karena rintang sekitar Markas sulit ditembus, para pemuda ingin menyerbunya dengan menggunakan mortir 81 dan tekidanto (mortir kecil 4 cm).
Dari yang awalnya penjarahan dilakukan menggunakan senjata tradisional seperti klewang, bambu runcing, ketapel, golok, dan parang, rakyat meng-upgrade senjata modern hasil rampasan untuk menjarah lokasi selanjutnya seperti senapan dan bom. Hasil rampasan gudang senjata tentara Jepang tersebut digunakan para jago di masa revolusi untuk bertempur melawan pasukan Belanda. (SHN)
Baca juga:
Di Sidang Tahunan MPR, Jokowi Klaim Dirinya Tidak Antikritik