PERNAHKAH kamu membayangkan bagaimana penanganan untuk masyarakat adat pedalaman saat mereka terkonfirmasi COVID-19? Beberapa dapat tertangani dengan baik, sementara yang lainnya kesulitan karena permasalahan legalitas. Bukan hanya menghambat proses pendataan untuk penanganan COVID-19 tetapi untuk bantuan sosial.
Riche Rahma Dewita, Koordinator Program Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI mengatakan sebanyak 142 kelompok masyarakat adat yang berada di wilayah dampingannya di Sumatra Barat, Jambi, Bengkulu, Riau, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara telah mendapatkan legalitas dari pemerintah dan sebagian lainnya masih terus diperjuangkan untuk mendapatkan pengakuan hukum dari pemerintah.
Baca Juga:
Pentingnya Perlindungan Masyarakat Adat untuk Keanekaragaman Alam

“Pengakuan yang diberikan pemerintah secara hukum kepada masyarakat membuat mereka memiliki kepastian untuk mengakses pengelolaan hutan serta menjalankan nilai dan pengetahuan yang bersinergi dengan hutan,” ucap Riche.
Di bagian Komunitas Adat Marginal, Warsi berhasil mendorong pemerintah untuk pengakuan Suku Orang Rimba masuk dalam sistem administrasi kependudukan pada tahun 2020 sampai 2021. Dengan adanya pengakuan dan pencatatan identitas ini, Suku Orang Rimba bisa mengakses bantuan pemerintah untuk mengatasi kedaruratan pangan akibat pandemi covid.
Pertama dalam sejarah Orang Rimba hampir merata mendapatkan Bantuan Sosial Tunai (BST) senilai Rp300 ribu per orang per bulannya selama masa pandemi. Dan dilanjutkan dengan bantuan pangan non tunai.
Dampak keterpurukan ekonomi selama pandemi tidak hanya dirasakan masyarakat urban saja. Sebagian Orang Rimba, sebutan kelompok adat yang hidup secara nomaden atau berpindah-pindah, di wilayah dampingan KKI Warsi juga ada yang harus merasakan pahitnya pandemi karena kehilangan mata pencaharian mereka.
“Salah satu masyarakat yang rentan terpapar pandemi adalah Orang Rimba yang tinggal di area perkebunan, sekitar transmigrasi dan kawasan HTI (hutan industri). Kehidupan mereka bergantung pada penjualan hasil berondolan sawit dan berburu babi untuk dijual ke pengepul,"jelasnya.
Baca Juga:

Sejak pandemi sesuai adat Orang Rimba melakukan sesandingon atau social distancing. Otomatis dengan pola ini Orang Rimba tidak memiliki penghasilan sementara hutan yang kaya sumber pangan mereka sudah berganti dengan tanaman sawit ataupun akasia. Kondisi ini yang memicu kedaruratan pangan. “Jadi bantuan sosial yang diberikan pemerintah sangat berarti,“ kata Riche.
Meski demikian, bagi Orang Rimba yang berada di kawasan hutan sejatinya tidak terlalu terpengaruh karena hutan menyediakan pangan. Persoalannya hari ini hutan yang makin sempit sehingga populasi Orang Rimba yang tinggal di dalam hutan juga sudah kecil.
Hutan sebagai sumber pangan dan benteng ketahanan pangan juga dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan. Seperti masyarakat Rantau Kermas dan Lubuk Mentilin di Jambi, pandemi justru memberikan mereka kesempatan yang lebih luas untuk melakukan kegiatan menjaga hutan tanpa gangguan.
“Masyarakat yang tinggal di kawasan hutan, seperti Orang Rimba dan masyarakat desa di sekitar kawasan hulu, seperti Rantau Kermas dan Lubuk Mentilin terbukti bisa menjalani kehidupan mereka secara normal selama pandemi. Mereka justru dapat melakukan kegiatan menjaga hutan tanpa gangguan,” tambah Riche. (avia)
Baca Juga: