Pandemi Corona, Takut Boleh Panik Jangan
WAJAR kita merasa takut akan COVID-19 yang telah dinyatakan statusnya sebagai pandemi oleh World Health Organization (WHO). Terlebih, virus yang bermula di Tiongkok tersebut sudah masuk ke Indonesia.
Namun, alangkah lebih baik jika kita tidak panik menanggapinya. Tidak elok rasanya mengatakan ada hikmah atau hal baik di balik penyebaran COVID-19, tapi ada alasan untuk selalu optimis.
Baca juga:
Melansir tulisan Ignacio López-Goñi pada laman The Conversation, mungkin ada cara untuk menangkal dan mengalahkan virus Corona, serta banyak pelajaran berharga yang bisa kita gunakan ke depannya. Berikut alasan mengapa kita tidak seharusnya panik menghadapi pandemi Corona:
Kita sudah tahu penyakitnya
COVID-19 sudah berhasil diidentifikasi sejak 7 Januari 2020. Peneliti telah menemukan bahwa ada virus baru yang berasal dari kelompok 2B, dari keluarga virus yang sama dengan SARS yang dinamakan SARS-CoV-2.
Sebuah analisa genetis telah mengkonfirmasi bahwa ada usul alami baru (antara akhir November dan awal Desember 2019), dan bahwa walaupun virus-virus hidup dengan bermutasi, tingkat mutasinya kemungkinan tidak akan terlalu tinggi.
COVID-19 sudah bisa dideteksi
Sekali lagi, takut boleh panik jangan. Sejak 13 Januari, sebuah tes untuk mendeteksi COVID-19 telah tersedia. Di Indonesia, tes tersebut juga sudah dilakukan oelah pihak yang berwenang.
Situasi mulai membaik di Tiongkok
Kontrol dan berbagai tindakan isolasi yang kuat di Tiongkok sudah membuahkan hasil. Untuk beberapa minggu kebelankang, jumlah diagnosa kasus COVID-19 berkurang tiap harinya.
Penelitian-penelitan lanjutan mendalam yang dilakukan berbagai negara lain, seperti penyebarannya yang sangat spesifik di beberapa wilayah, menjadikan penyebaran COVID-19 lebih mudah untuk dikontrol.
80% kasus COVID-19 tergolong ringan
Penyakit tidak menimbulkan gejala lanjutan dan pada 81% kasus masuk dalam skala menengah/ringan. Meski perlu diketahui 14% dari kasus COVID-19 menimbulkan pneumonia parah dan 5% sisanya bisa menjadi kritis dan fatal.
Banyak orang bisa sembuh
Banyak data yang memperlihatkan peningkatan di jumlah kasus-kasus positif dan jumlah kematiannya, namun kebanyakan yang terinfeksi bisa sembuh. Tercatat 13 kali lebih banyak pasien COVID-19 yang sembuh jika dibandingkan dengan kematian, dan jumlahnya terus bertambah.
Jarang terjadi pada anak-anak
Menurut data, 3% dari kasus-kasus yang terjadi pada orang di bawah 20 tahun, dan tingkat kematian bagi yang berusia di bawah 40 tahun adalah 0,2%. Gejala-gejala jarang terlihat pada anak-anak.
Baca juga:
COVID-19 bisa disapu bersih
Seperti yang diserukan banyak informai yang beredar, virus Corona dapat secara efektif dimatikan menggunakan cairan etanol (alkohol 62-71%), hydrogen peroxide (0,5% hydrogen peroxide) atau sodium hypochlorite (0,1% bleach), hanya dalam waktu semenit. Mencuci tangan dengan sabun juga menjadi cara paling efektif untuk meminimalisir penularan.
Seluruh dunia sedang meneliti COVID-19
Dalam waktu hanya dalam sebulan, 164 artikel bisa di akses di PubMed untuk COVID-19 atau SARS-Cov-2. Penelitan-penelitan tersebut termasuk studi awal pada vaksin-vaksin, penanganan, epidemiologi, genetis dan filogeni, diagnosa, dan aspek-aspek klinis lainnya. Butuh waktu lebih dari satu tahun untuk mencapai jumlah artikel tersebut saat epidemi SARS pada 2003.
Artikel-artikel tersebut ditulis oleh sekitar 700 penulis (peneliti) dan disalurkan ke seluruh dunia. Ini adalah sains kooperatif, yang bebas untuk dibagikan. Ditambah, kebanyakan jurnal ilmiah telah membuat publikasi-publikasi bebas untuk di akses untuk topik COVID-19.
Sudah tersedia prototipe vaksin
Kemampuan kita (umat manusia) untuk menciptakan vaksin baru sangat spektakuler. Terhitung ada delapan proyek yang sedang berlangsung untuk menemukan vaksin untuk COVID-19.
University of Queensland di Australia mengumumkan bahwa mereka sudah mengerjakan sebuah prototipe menggunakan teknik yang dinamakan ‘molecular clamp’, sebuah teknologi yang menakjubkan. Prototipe vaksin ini akan segera di tes ke manusia.
Percobaan antivirus sedang berlangsung
Ada lebih dari 80 percobaan klinis yang menganalisis pengobatan COVID-19. Percobaan untuk antivirus yang telah digunakan untuk infeksi-infeksi lain, yang sudah disetujui dan terbukti aman.
Salah satu antivirus yang sudah diuji coba pada manusia adalah remdesivir, antivirus dengan spektrum luas yang masih dalam penelitian, dan sudah diuji coba melawan Ebola juga SARS.
Antivirus lainnya adalah chloroquine, anti-malaria yang juga unggul melawan virus. Kita tahu bahwa virus yang terinfeksi dapat meningkatkan pH endosome, yang diperlukan saat virus berfusi atau bergabung dengan sel, sehingga harus dapat mengambil jalan masuknya. Kandungan ini telah terbukti menghalangi corona virus in vitro (di luar populasi hidup) dan sudah digunakan untuk pasien pengidap pneumonia COVID-19.
Percobaan penelitian lain yakni penggunaan oseltamivir (yang digunakan untuk melawan virus influenza), interferon-1b (protein dengan fungsi antivirus), antiserum dari orang-orang yang telah memperoleh atau antibodi monoklonal untuk menetralkan virus.
Terapi baru juga telah diusulkan dengan melibatkan zat penghalang seperti baricitinibine, yang dipilih oleh kecerdasan buatan (AI).
Baca juga:
Kurang lebih beberapa alasan di atas dirasa tepat untuk kita tidak hanyut dalam kepanikan. Takut dan waspada justru tak kalah penting saat ini. Pandemi flu yang menyebabkan kematian 25 juta orang dalam kurun kurang dari 25 pekan terjadi pada 1918. Mungkinkah hal serupa terulang? Sepertinya tidak. Perkembangan teknologi informasi yang semakin maju membuat kita lebih siap dalam memerangi pandemi, termasuk COVID-19. (ADP)