Pakar Sebut Perhitungan Kerugian Negara oleh BPK dalam Kasus Asabri Aneh

Andika PratamaAndika Pratama - Sabtu, 08 Januari 2022
 Pakar Sebut Perhitungan Kerugian Negara oleh BPK dalam Kasus Asabri Aneh
Sidang pembacaan vonis kasus korupsi Asabri di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (4/1/2022). ANTARA/Desca Lidya Natalia

MerahPutih.com - Dissenting opinion Anggota Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Mulyono Dwi Purwanto dalam kasus Asabri dinilai menjadi oase dalam padang gurun pemberantasan korupsi yang tidak berkepastian.

Pakar Hukum Administrasi Negara, Dian Puji Nugraha Simatupang menilai metode total lost untuk penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam kasus Asabri aneh dan tidak tepat sebagaimana disoroti hakim Mulyono dalam dissenting opinionnya.

Baca Juga

Kasus Asabri, Pakar Hukum Sebut DO Hakim Mulyono Sudah Tepat dari Sisi Aturan

"Apa yang disampaikan Hakim Mulyono itu sangat tepat secara teori dan juga dari sisi konsep pengaturan kerugian negara. Karena memang harus secara nyata dan pasti. Menurut saya dissenting opinion ini seperti oase di dalam suatu padang gurun pemberantasan korupsi yang tidak berkepastian dan tidak punya konsep yang jelas," kata Dian dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (8/1).

Menurut Dian, total lost tidak dikenal lagi sejak ada Pasal 39 PP Nomor 38 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Negara/Daerah terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain.

Dalam Pasal 39 PP itu dikatakan penentuan nilai kekurangan dari penyelesaian kerugian negara/daerah dilakukan berdasarkan nilai buku atau nilai wajar atas barang yang sejenis. Dalam hal baik nilai buku maupun nilai wajar dapat ditentukan, maka nilai barang yang digunakan adalah nilai yang paling tinggi di antara kedua nilai tersebut.

Selain itu, kata Dian, seharusnya dalam mengidentifikasi ada tidaknya kerugian negara dalam kasus Asabri, BPK juga merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 248 Tahun 2016 yang mengatur soal pengelolaan jaminan TNI-Polri.

Bahkan, tutur Dian, terdapat aturan yang lebih tinggi yang menegaskan bahwa perhitungan kerugian keuangan negara haruslah berdasarkan kerugian nyata dan pasti, yakni UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Putusan Mahkamah Konstitusi soal frasa “…dapat merugikan keuangan negara’ dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor yang dinyatakan tidak berlaku lagi.

"Apalagi adanya PP 38/2016 tidak bisa dihitung dengan total lost karena menurut UU 1/2004 dan putusan MK kerugian negara itu harus nyata dan pasti. Jadi tidak ada lagi total lost, tidak ada partial lost. Jadi nilai kekurangan atau kerugian betul-betul nilai buku atau nilai nyata," kata Dian.

Baca Juga

Kasus Asabri, Pakar Sebut Kerugian Negara dalam Perkara Korupsi Harus Faktual

"Nilai nyata itu misalnya saya kehilangan Rp 200 ribu di kas, maka Rp 200 ribu itu saja (yang disebut kerugian), jangan kemudian Rp 200 ribu ditambah yang lain atau kalau uang itu digunakan bertambah menjadi Rp 500 ribu, tidak mungkin seperti itu. Jadi betul-betul seharga nilai buku atau berapa yang kemudian secara wajar bahwa uang itu berkurang," ujarnya.

Dia juga menilai perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus Asabri oleh BPK tampak aneh karena ketika dijumlah kerugian keuangan negara dari sejumlah terdakwa, nilai totalnya melebihi dari yang didakwakan.

Kata Dian, seharusnya dihitung dari tindakan yang dilakukan terdakwa berakibat pada jumlah kerugian sekian rupiah sehingga yang bersangkutan dituntut pertanggungjawaban sesuai dengan kerugian keuangan negara yang diakibatkan dari tindakan terdakwa

“Tidak mungkin kemudian kalau dijumlah berapa, ditotal-total ternyata lebih yang didakwakan, jadi membingunkan. Jadi, jumlahnya saja kelebihan, dari sisi-sisa masing-masing para pihak yang didakwakan tidak jelas juga berapa kemudian dia itu merugikan atau menimbulkan kekurangan uang berapa. Itu tidak sesuai dengan teorinya,” jelas dia.

Lebih lanjut, Dia mengungkapkan dua makna penting dari dissenting opinion dari Hakim Mulyono dalam kasus Asabri. Pertama, kata dia, dissenting opinion menjadi dasar kuat bagi para pihak untuk mengajukan banding maupun kasasi terhadap putusan pengadilan.

“Kedua, apa yang penting sebenarnya ini, baik BPK, penyidik atau siapapun yang bertugas menghitung kerugian negara harus betul-betul mengikuti dan sesuai peraturan perundang-undangan. Kalau tidak mengikuti peraturan, buat apa adanya penegakan hukum karena penegakan hukum konsepnya harus berdasarkan hukum," tuturnya

"Dasar hukum perhitungan kerugian negara harus nyata dan pasti. Jadi tidak bisa kemudian saya mengestimasikan, mengasumsikan sehingga Hakim Mulyono mengatakan itu masih potensi,” pungkas Dian. (*)

Baca Juga

Kasus Asabri, Dua Pihak Swasta Divonis 10 dan 13 Tahun Penjara

#Asabri #Kasus Korupsi
Bagikan
Ditulis Oleh

Andika Pratama

Bagikan