MerahPutih.com - Presidential threshold atau nilai ambang batas dalam pencalonan presiden dan wakil presiden bukan hal yang baru dalam praktik pemilu di Indonesia.
Menurut Pakar Hukum Tata Negara, Mirza Nasution, sering terjadi perdebatan di kalangan masyarakat tentang presidential threshold. Khususnya berkaitan dengan anggapan bahwa Presidential threshold ini inkonstitusional dan diskriminasi terhadap hak konstitusi setiap orang untuk menjadi presiden dan wakil presiden.
Baca Juga:
Sekjen PDIP Buka Suara Soal Presidential Threshold
Ia menegaskan UUD 1945 telah mengamanatkan untuk mengatur lebih lanjut terkait persyaratan menjadi presiden, dan pengaturan presidential threshold yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2017 Pasal 222 adalah konstitusional.
"Karena merupakan penjabaran lebih lanjut terkait persyaratan untuk menjadi presiden sebagaimana telah diamanatkan oleh UUD 1945 tersebut," ujar Mirza dalam keterangannya kepada MerahPutih.com, Kamis (6/1).
Hadirnya UU No. 17 Tahun 2017 Pasal 222, jika dilihat dari sisi politik hukumnya, terdapat urgensi atau beberapa alasan mendalam terkait argumentasi kebijakan dilahirkannya pengaturan tentang ambang batas tersebut.
Pertama, Presidential threshold telah menjadi sebuah rangka bangun sistem ketatanegaraan dalam hal pemilu presiden dan wakil presiden di Indonesia dalam beberapa periode. Kedua, Presidential threshold merupakan salah satu langkah dalam menguatkan sistem presidensial. Ketiga, Presidential threshold menjaga stabilitas politik negara.
Baca Juga
ASN Gugat Presidential Threshold, Menpan RB Diminta Turun Tangan
Keempat, Presidential threshold memastikan bahwa hubungan presiden dan parlementer bersinergi dan berhubungan dengan baik sehingga penyelenggaraan pemerintahan berjalan dengan efektif. Kelima, Presidential threshold merupakan langkah efektif dalam penyederhanaan multi partai secara alami. Keenam, Presidential threshold dalam praktek pemilu serentak memberikan kemudahan dan efisiensi anggaran yang lebih murah dalam pelaksanaan pemilu.
"Sebenarnya perdebatan mengenai presidential threshold yang dianggap inkonstitusional telah beberapa kali dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Konstitusi melalui keseluruhan Putusannya menolak semua gugatan tersebut dan menyatakan bahwa kebijakan presidential threshold tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan merupakan kebijakan yang diamanatkan oleh UUD yang bersifat terbuka," jelas dia.
Baca Juga:
Beda Keinginan Presidential Threshold Partai Pendukung Jokowi
Ia menegaskan bahwa dalam pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Sehingga perdebatan yang tepat adalah bukan lagi untuk menghapus presidential threshold karena inkonstitusional, melainkan perdebatan terkait besaran nilai persentasi dari presidential threshold tersebut.
"Mahkamah konstitusi dalam putusannya bahwa besaran nilai persentase tersebut merupakan legal opened policy yaitu kewenangan tersebut kembali kepada pembentuk undang undang untuk merevisi besaran persentase dari presidential threshold," tutup dia. (Ayu)