MerahPutih.com - Gunung Semeru mengalami erupsi pada Sabtu (4/12) sekitar pukul 14:50 WIB. Mengutip dari Magma Indonesia, visual letusan tidak teramati akan tetapi erupsi ini terekam di seismograf dengan amplitudo maksimum 25 mm dan durasi 5160 detik.
Ahli Vulkanologi Institut Teknologi Bandung (ITB), Mirzam Abdurrachman, mengatakan saat terjadi erupsi, warga cenderung tidak merasakan adanya gempa. Akan tetapi gempa tersebut tetap terekam oleh seismograf. Hal ini disebabkan oleh sedikitnya material yang berada di dalam dapur magma.
Material aliran lahar yang terjadi di Gunung Semeru merupakan akumulasi dari letusan sebelumnya yang menutupi kawah gunung tersebut.
“Terkikisnya material abu vulkanik yang berada di tudung gunung tersebut membuat beban yang menutup Semeru hilang sehingga membuat gunung mengalami erupsi,” kata Mirzam, Minggu (5/12).
Baca Juga:
Gunung Semeru Erupsi, Dua Kecamatan Gelap Gulita
Menurutnya, ada tiga hal yang menyebabkan kenapa Gunung Semeru bisa erupsi. Pertama karena volume di dapur magmanya sudah penuh. Kedua, karena ada longsoran di dapur magma yang disebabkan terjadinya pengkristalan magma, dan yang ketiga di atas dapur magma.
“Faktor yang ketiga ini sepertinya yang terjadi di Semeru,"
Ketika curah hujannya cukup tinggi, abu vulkanik yang menahan di puncaknya baik dari akumulasi letusan sebelumnya, terkikis oleh air. Sehingga gunung api kehilangan beban.
"Meskipun isi dapur magmanya sedikit yang bisa dilihat dari aktivitas kegempaan, Semeru tetap bisa erupsi,” jelasnya.
Baca Juga:
Kondisi Terkini Gunung Semeru Usai Erupsi
Mirzam mengatakan, Gunung Semeru merupakan salah satu gunung api aktif tipe A. Berdasarkan data dan pengamatan yang dilakukan, Mirzam berkesimpulan bahwa Gunung Semeru memiliki interval letusan jangka pendek 1-2 tahun. Terakhir tercatat pernah juga mengalami erupsi di tahun 2020 juga di bulan Desember.
“Letusan kali ini, volume magmanya sebetulnya tidak banyak, tetapi abu vulkaniknya banyak sebab akumulasi dari letusan sebelumnya,” jelasnya.
Namun menurutnya, arah letusan gunung Semeru bisa diprediksi yaitu mengarah ke tenggara. Hal ini karena mengacu pada peta Geologi Semeru, bidang tempat lahirnya gunung ini tidak horizontal tetapi miring ke arah selatan.
Mengacu pada letusan 2020, arah abu vulkaniknya itu cenderung ke arah tenggara dan selatan karena anginnya berhembus ke arah tersebut. Begitu juga dengan aliran laharnya.
"Karena semua sungai yang berhulu ke puncak Semeru semua merngalir ke arah selatan dan tenggara,” ujar dosen pada Kelompok Keahlian Petrologi, Vulkanologi, dan Geokimia, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) itu.
Baca Juga
Mirzam mengindikasikan abu vulkanik gunung semeru cenderung berat yang ditandai dengan warnanya yang abu-abu pekat. Hal tersebut terlihat dari visual di puncak Gunung Semeru. Sehingga ketika letusan-letusan sebelumnya terjadi, abu vulkaniknya jatuh menumpuk di hanya di sekitar area puncak gunung semeru, ini yang menjadi cikal bakal melimpahnya material lahar letusan 2021.
Ia juga mengingatkan bahaya dari gunung api secara umum ada dua. Yaitu primer dan sekunder. Bahaya primer berkaitan dengan saat gunung meletus dan bahaya sekunder setelah gunung api tersebut meletus. Bahaya primer dari letusan ialah aliran lava, wedus gembel, dan abu vulkanik.
Sementara bahaya sekunder salah satunya terjadinya banjir bandang atau pun lahar. “Dua-duanya sama-sama berbahaya,” ujarnya. (Imanha/Jawa Barat)