Pakar Anggap Tuntutan Pidana Mati Terhadap Heru Hidayat Keliru

Angga Yudha PratamaAngga Yudha Pratama - Jumat, 10 Desember 2021
Pakar Anggap Tuntutan Pidana Mati Terhadap Heru Hidayat Keliru
Sidang kasus korupsi pengelolaan dana PT. Asuransi Jiwasraya di pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (26/10). (Antara/Desca Lidya Natalia)

MerahPutih.com - Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Agung (Kejagung) dianggap keliru menuntut pidana hukuman mati kepada terdakwa kasus dugaan korupsi PT Asabri (persero), Heru Hidayat.

Pasalnya, surat dakwaan yang dibuat jaksa terhadap Heru Hidayat sama sekali tidak memuat Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Menurut Pakar Pidana Universitas Trisakti Dian Adriawan, seharusnya tuntutan jaksa harus merujuk pada surat dakwaan Presiden Direktur PT Trada Alam Minerba tersebut.

Baca Juga

Kejagung Sita 8 Lapangan Golf Milik Heru Hidayat Terkait Kasus Asabri

“Kalau tidak ada dalam surat dakwaan, berarti kekeliruan yang dilakukan jaksa ketika dia mencantumkan itu (pidana hukum mati) di dalam tuntutan pidana,” kata Dian kepada wartawan, Jumat (10/12).

Dian mengatakan poin-poin dalam surat dakwaan merupakan hal yang penting karena menjadi koridor bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan perkara. Selain itu, surat dakwaan menjadi batasan bagi jaksa dalam pengajuan tuntutan pidana bagi seorang terdakwa.

“Kalau tidak ada dalam surat dakwaan, kemudian dalam tuntutan-tuntutan pidana ada Pasal 2 ayat (2), itu sesuatu kekeliruan JPU. Karena begini, apa yang ada dalam surat dakwaan, diantisipasi juga oleh terdakwa di dalam pembuktian. Nah, bagaiman dia (terdakwa) mengantisipasi Pasal 2 ayat (2) kalau tidak ada dalam surat dakwaan,” jelas Dian.

Baca Juga

Kejagung Sita 17 Kapal Milik Heru Hidayat dalam Kasus Korupsi Asabri

Dian juga mengaku sepakat jika tindakan Heru Hidayat tidak bisa dikategorikan sebagai pengulangan tindakan pidana. Menurut dia, pengulangan tindak pidana terjadi ketika seseorang sudah diputuskan bersalah dengan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, lalu setelahnya melakukan tindak pidana baru.

“Pengulangan perbuatan itu terjadi apabila sudah ada perbuatan yang diputus oleh pengadilan dan kemudian dilakukan suatu perbuatan baru. Itu namanya pengulangan perbuatan. Kalau ini kasusnya bersama-sama. Pengertian yang dikemukakan oleh jaksa itu keliru kalau menurut saya,” ujarnya.

Selain itu, kata Dian, hukuman pidana mati lebih tepat diberlakukan dalam kasus korupsi terhadap dana-dana yang dipergunakan untuk penanganan dan penanggulangan kondisi darurat. Ia mencontohkan kondisi darurat tersebut seperti bencana nasional atau krisis moneter. Sementara, tindak pidana korupsi Heru Hidayat tidak terkait dengan kondisi darurat tersebut.

“Terkait dengan Pasal 2 ayat (2), pidana mati kan untuk situasi darurat, situasi tertentu. Sebenarnya situasi tertentu itu cocoknya, yang paling tepat kalau diterapkan pada kasus yang lain, seperti kasus Bansos, itu terjadi pada masa pandemi seharusnya hukuman mati,” pungkas Dian.

Baca Juga

Kasasi Ditolak, Bentjok dan Heru Hidayat Tetap Divonis Seumur Hidup

Diketahui, JPU pada Kejagung menuntut terdakwa perkara dugaan korupsi Asabri, Heru Hidayat dengan pidana hukuman mati. Jaksa meyakini Heru terbukti bersama-sama sejumlah pihak lainnya telah melakukan korupsi dalam pengelolaan dana PT Asabri (Persero) yang merugikan keuangan negara sekitar Rp 22,78 triliun.

Dalam dakwaannya JPU mendakwa Heru Hidayat dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor serta Pasal 3 dan 4 UU TPPU. Sementara dalam tuntutan JPU menuntut Heru Hidayat dengan hukuman pidana mati sebagai diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. (Pon)

#Asabri #Jiwasraya #Kasus Jiwasraya
Bagikan
Ditulis Oleh

Ponco Sulaksono

Bagikan