Padukan Musik Kontemporer, Maulana Lestarikan Gambang Kromong

Noer ArdiansjahNoer Ardiansjah - Kamis, 14 Juni 2018
Padukan Musik Kontemporer, Maulana Lestarikan Gambang Kromong
Maulana memainkan salah satu alat musik gambang kromong, tehyan. (Merahputih.com/Noer Ardiansjah)

ALUNAN gesekan alat-alat musik Tionghoa seperti sukong, tehyan dengan gamelan terdengar merdu di Jalan Maliki IV, No 89, RT03/02, Kelurahan Sukmajaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok. Sautan suara sinden dengan logat Betawi alias ngibing terdengar begitu syahdu.

Menariknya sebagian besar para pemain kesenian Betawi masih berusia muda. Mereka tak canggung memainkan alat musik yang bisa dibilang kuno tersebut. Dari kumpulan anak muda itu, terdapat salah satu pria menggunakan kaos putuh dan celana pendek unggu asyik memainkan tehyan.

Jemarinya terlihat sangat fasih memegang senar alat musik seperti biola tersebut. Bahkan kunci lagu zaman dahulu bisa dimainkan. Tak berapa lama lelaki berkumis tipis tersebut berdiri dan memberikan pengarahan kepada sejumlah pemain serta mengenalkan diri kepada merahputih.com. "Nama saya Maulana," katanya.

Tak lama berselang, pria itu menceritakan kegiatannya bersama rekannya yang lain. Dari pengakuan Maulana, dirinya merupakan mentor dan pemimpin dalam grup Gambang Kromong Cahaya Subur. Grup tersebut merupakan warisan ayahandanya, Saman Piih pada 1983 silam.

"Saya mulai ikut berkecimpung di sini sejak umur 15 tahun. Ini grup warisan almarhum bapak yang harus saya teruskan. Dari sini saya bisa mendapatkan tambahan ekonomi keluarga, apalagi adik saya masih duduk di bangku kuliah," katanya.

Maulana memainkan salah satu alat musik gambang kromong, tehyan. (Merahputih.com/Noer Ardiansjah)

Sejak empat tahun lalu, tepatnya 2010 silam, grup Cahaya Subur sempat seperti ayam kehilangan induknya. Saman Piih pimpinan grup kesenian Betawi itu mangkat. Sebelum wafat, sang bapak hanya berpesan agar anaknya terus berjuang untuk menghidupi grup yang telah didirikannya tersebut.

Kerja kerasnya tidak boleh hilang hanya karena Saman Piih dipanggil Sang Khalik. "Untuk itu, ilmu bermusiknya sengaja dicekoki," katanya.

Setelah Saman Piih wafat, Maulana yang saat itu masih berusia 15 tahun, telah lihai bermain semua alat musik Gambang Kromong. Sejak kecil, sang ayah kerap mengajak Maulana untuk pentas dari panggung ke panggung. Sang ayah juga mengajarkan Maulana untuk hidup dari panggung dengan warisan gambang kromong.

Karena itu, Maulana memfokuskan diri bukan hanya sekadar mempertahankan, tapi memutar otak untuk juga menghidupi seluruh anggota grupnya.

"Ibaratnya saya lahir di panggung. Saya selalu memotivasi diri, agar bagaimana bisa hidup dari Gambang Kromong. Sebab banyak orang yang harus dihidupi di grup," ucapnya.

Kamar tidurnya yang sempit di depan teras rumahnya, terpaksa sementara dijadikan sanggar untuk menjaga alat musik tua yang diwariskan ayahnya. Untuk itu, Maulana mengaku sangat membutuhkan sanggar untuk mewadahi banyak kegiatan dan tempat penyimpanan yang aman untuk warisan alat musik yang ia anggap sangat berharga.

Regenerasi, kata Maulana, menjadi hal yang paling penting baginya. Dirinya akan sangat terbuka bila ada orang yang tertarik ingin belajar alat musik gambang kromong. "Sebisa mungkin alat musik warisan Babeh dijaga. Butuh rasa cinta terhadap kebudayaan dan rasa ingin melestarikan budaya."

Kombinasi Musik Modern

Usaha kerasnya melestarikan budaya asli Betawi itu rupanya sangat berat. Tidak ada satu pun warga yang menyewa grup Gambang Kromong Cahaya Subur mentas. Bahkan dari satu tempat ke tempat lain, hingga menempelkan brosur untuk memperkenalkan kesenian yang hampir punah ini dilakukan Maulana.

Rasa putus asah pun mulai dirasakan pemuda tersebut. Dirinya sempat ingin membubarkan grup yang didirikan sang ayahnya itu. Namun, hal tersebut tak bisa dilakukannya sendiri, permintaan ayahnya itu harus tetap dilestarikan.

Pada masa transisi itulah Maulana mendapatkan pencerahan. Pada awal 2011 silam, dirinya secara tidak sengaja sedang menonton tayangan musik internasional di sebuah stasiun televisi nasional di dalam rumah.

Inspirasinya kemudian muncul seketika. Dirinya bertekad akan mengolaborasikan musik tradisional itu dengan musik modern. Panggung seperti oase bagi grup Gambang Kromong Cahaya Subur, mencari dan menunggu panggilan mementaskan seni masih jadi andalan.

Penggabungan antara kecapi dan biola telah mampu menghasilkan inovasi berupa musik jazz, dangdut hingga rock. Hal itu dilakukan, agar musik gambang kromong bisa dinikmati semua kalangan. Tak ada kejenuhan dari para personelnya, melainkan semangat yang tinggi dan terus meningkatkan kemampuan serta berharap budaya tersebut tetap lestari.

"Kami mencoba berkolaborasi agar gambang kromong tidak terkesan jadul. Kami bisa mengombinasikan musik etnik dengan modern. Sekarang musik gambang kromong dapat dinikmati. Istilahnya, barang tua tetap berharga asal bisa disesuaikan fungsinya," papar Maulana. (*)

#Gambang Kromong
Bagikan
Ditulis Oleh

Noer Ardiansjah

Tukang sulap.
Bagikan