Omnibus Law Dinilai Ancam Pekerja di Sektor Kelistrikan

Angga Yudha PratamaAngga Yudha Pratama - Rabu, 07 Oktober 2020
Omnibus Law Dinilai Ancam Pekerja di Sektor Kelistrikan
Demo buruh menola Omnibus Law. Merahputih.com / Rizki Fitrianto

Merahputih.com - Serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan kecewa dengan sikap Pemerintah dan DPR yang terburu-buru mengesahkan omnibus law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang dalam sidang paripurna, Senin (5/10).

Demikian disampaikan serikat pekerja/serikat buruh di sektor kelistrikan seperti SP PLN Persero, PP Indonesia Power, SP PJB, SPEE-FSPMI, dan Serbuk Indonesia.

Baca Juga

Pengesahan UU Ciptaker Bentuk Persekongkolan Jahat Pemerintah, DPR dan Pengusaha

Ketua Umum PPIP PS Kuncoro menyampaikan, Omnibus Law berpotensi melanggar tafsir konstitusi, terutama dalam Subklaster Ketenagalistrikan. Di mana putusan MK No. 111/PUU-XIII/2015, tidak digunakan sebagai rujukan pada UU Cipta Kerja.

Hal ini akan mengakibatkan adanya pelanggaran Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat (2), di mana tenaga listrik yang merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak tidak lagi dikuasai negara, yang ujungnya berpotensi akan mengakibatkan kenaikan tarif listrik ke masyarakat.

Ia sudah berkali-kali menyampaikan kepada pihak-pihak terkait akan dampak buruk yang ditimbulkan jika omnibus law dilakukan.

"Tetapi aspirasi dan masukan yang kami sampaikan hanya masuk telinga kiri dan keluar telinga tangan," jelas Kuncoro dalam keterangannya, Rabu (7/10)

Ancaman lainnya di sektor ketenagalistrikan adalah dihapuskannya peran DPR, yaitu hak dalam konsultasi Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). Kuncoro mengatakan hal ini menyalahi prinsip check and balance.

Selain itu, dihapusakannya hak konsultasi RUKN dapat mengakibatkan aspirasi dan peran masyarakat tidak tersalurkan. Dengan demikian, perencanaan-perancanaan ketenagalistrikan berpotensi hanya untuk kepentingan dan keuntungan bagi pihak-pihak tertentu.

Sejumlah buruh mengikuti aksi long march di kawasan Jatiuwung, Kota Tangerang, Banten, Selasa (6/10/2020). Merahputih.com / Rizki Fitrianto

RUKN juga berperan penting dalam penentuan harga listrik karena terkait dengan jenis energi primer yang digunakan pembangkit tenaga listrik.

Campur tangan para wakil tangan dalam kebijakan energi primer menjadi sangat penting dalam pembahasan RUKN. "Pada ujungnya tarif listrik akan berdampak juga terhadap ekonomi masyarakat," ujarnya.

Ancaman berikutnya terkait masuknya Pasal 10 Ayat (2) tentang Unbundling sektor pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan. Juga Pasal 11 Ayat (1) yang memperbolehkan badan usaha swasta dalam penyediaan listrik.

Menurut Kuncoro, hal ini menyalahi keputusan MK Nomor 111/PUU-XIII/2015 bahwa ketentuan Pasal 10 dan 11 tidak memiliki kekuatan hukum.

Pertimbangan MK dalam putusan itu ialah Pasal 10 Ayat (2) dan Pasal 11 Ayat (1) menghilangkan fungsi kontrol negara dalam usaha penyediaan listrik untuk kepentingan umum yang menjadi kebutuhan vital masyarakat Indonesia, dan hilangnya kedaulatan energi bagi negara.

"Karena itu, serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan meminta omnibus law yang sudah disahkan segera dibatalkan. Terlebih lagi, beleid ini ditolak oleh banyak elemen masyarakat," ujar Kuncoro.

Selain itu, lanjut dia, munculnya potensi memperburuk kondisi ketenagalistrikan saat ini yang telah mengalami kelebihan pasokan listrik (oversupply) dan besarnya kewajiban pembayaran take or pay kepada pembangkit listrik swasta (TOP IPP).

Ia meminta UU ini dibatalkan. "Presiden harus mengambil sikap tegas untuk mengeluarkan perppu yang menunda pemberlakukan Omnibus Law UU Cipta Kerja sampai batas waktu yang tidak ditentukan," kata dia.

Baca Juga

Kapolri Keluarkan Telegram untuk Deteksi Dini Penumpang Gelap saat Demo Buruh

Oleh karena itu, serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan meminta omnibus law yang sudah disahkan segera dibatalkan. Terlebih lagi, beleid ini ditolak oleh banyak elemen masyarakat.

"Tidak hanya buruh, tetapi juga mahasiswa, petani, nelayan, masyarakat adat, akademisi, penggiat HAM, dan sebagainya,” ungkap dia.

Presiden harus mengambil sikap tegas untuk mengeluarkan PERPPU yang menunda pemberlakukan Omnibus Law UU Cipta Kerja sampai batas waktu yang tidak ditentukan. "Toh hal itu untuk kepentingan rakyatnya sendiri,” tandas dia. (Knu)

#Buruh #UU Cipta Kerja #RUU Cipta Kerja
Bagikan
Bagikan