SELASA (21/3) pukul 18.00, setelah upacara mecaru selesai, para anggota STT berkumpul untuk mengarak ogoh-ogoh di sekitar desa. Para anggota perempuan mengenakan kain membawa obor berjalan di depan, sedangkan para pria mengenakan kain lengkap dengan destar bersiap mengarak ogoh-ogoh kreasi mereka.
Tradisi mengarak ogoh-ogoh di perempatan jalan desa telah lama menjadi bagian dari upacara pengerupukan. Dulunya, upacara pengerupukan dilaksanakan dengan menggelar caru yang kemudian diikuti menyalajan api di depan setiap rumah dan membuat suara-suara di dalam rumah. Diyakini, hal itu akan menghalau semua elemen jahat di rumah.
BACA JUGA:
Jelang Hari Raya Nyepi, Ogoh-ogoh Hadir di Jalanan Desa Blahbatuh
Barulah pada 1983 muncul bentuk bhuta kala yang dibuat dalam kreasi ogoh-ogoh. Nama ogoh-ogoh berasal dari kata ‘ogah-ogah’ yang berarti sesuatu yang digoyang-goyangkan. Ogoh-ogoh umumnya ditampilkan dalam makhluk berwajah seram, mata melotot, susu menggelantung yang melambangkan buta kala dalam berbagai rupa. Kreasi ogoh-ogoh kemudian makin berkembang terlebih setelah diikutkan dalam Pesta Kesenian Bali XII di 1990. Hingga masa kini, prosesi mengarak ogoh-ogoh menjadi bagian paling dinanti jelang Hari Raya Nyepi.

Bagi umat Hindu, ogoh-ogoh merupakan simbol keburukan sifat manusia serta hal negatif alam semesta. Setelah diarak, ogoh-ogoh akan dimusnahkan dengan cara dibakar dalam prosesi tawur agung kesanga sebelum umat Hindu melakukan tapa brata penyepian.
Kegembiraan menyambut ogoh-ogoh di hari pengerupukan bermula jauh sebelum hari pengarakan. Para pemuda-pemudi yang tergabung dalam sekaha teruna-teruni (STT) di setiap banjar telah bersiap mengkreasikan ogoh-ogoh jauh-jauh hari. Kami mulai merancang ogoh-ogoh sejak Februari,” kata STT Divarya Dharma Banjar Sidayu, Nyuhaya, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung, saat berbincang dengan Merahputih.com, Selasa (21/3) malam.
BACA JUGA:
Pakai Baju Adat Bali, Gibran dan Ethes Ikuti Kirab Ogoh-Ogoh Nyepi
Roy bercerita kreasi ogoh-ogoh di STT-nya berawal dari sebuah obrolan di balai banjar. Karena tahun ini merupakan kesempatan perdana setelah dua tahun dilanda pandemi COVID-19, banyak ide yang bermunculan. “Ini menjadi hal yang menarik. Setiap orang punya ide,” katanya.
Di tengah banjir ide dan antusiasme nan tinggi itu, para pemuda berdiskusi sehingga muncullah tema Hidimbi Pralaya. Menurut Roy, ada cerita khusus di balik tema itu. Hidimbi Pralaya dulunya dikenal sebagai istri dari salah satu Pandawa, yaitu Bima. Ia lah yang melahirkan anak bernama Gatot Kaca.

“Cerita khusus yang kami angkat ialah kisah awal Hidimbi yang sangat menolak dan marah saat akan dinikahi Bima. Hal itu disebabkan Bima ialah seorang manusia, sedangkan Hidimbi ialah seorang raksasa,” jelasnya.
Begitulah, empat anggota STT menjadi ‘arsitek’ di balik ogoh-ogoh berwujud perempuan raksasa nan seram. “Tahun ini, kami yang tergabung di sekaha teruna-teruni sangat sangat bangga dan mengapresiasi. Ketika pandemi, ide-ide untuk karya anak muda tertunda. Namun, tahun ini kami sudah di perbolehkan berkreasi untuk menciptkan karya ogoh-ogoh. Ini jadi pertunjukan bakat kami sebagai anak muda,” katanya.
“Bagi kami, pandemi sudah berlalu. Saatnya bergembira, berkreasi untuk menciptakan hal yang baru setelah terpuruk,” tutupnya.(dwi)
BACA JUGA: