Nah Lho! Banyak Jomblo di Masa Silam, Bikin Pemerintah Runyam

Yudi Anugrah NugrohoYudi Anugrah Nugroho - Rabu, 08 November 2017
Nah Lho! Banyak Jomblo di Masa Silam, Bikin Pemerintah Runyam
Para gadis indo di Sukabumi, Jawa Barat, 1930. (tropenmuseum)

SIAPA bilang jomblo bukan urusan pemerintah! Di masa kini mungkin angka jomblo nan tinggi bukan jadi masalah negara. Kejombloan hanya ditanggapi sambil lalu, bahkan lebih sering jadi bahan kelakar di dunia maya.

Tapi di masa lalu, status jomblo di usia produktif justru membuat merah kuping pemerintah. Pada permulaan 1808, pemerintah kolonial Belanda merumuskan sebuah perintah kepada para bupati dengan tugas utama mengawasi orang-orang jomblo atau lajang.

Pada uraian perintah tersebut, dalam Plakaatboek,XV, P. 1808, disebutkan agar perhatian para bupati ditujukan kepada kaum pribumi dan rakyat jelata supaya tidak lagi hidup menyendiri. “Semua pria dan wanita mudah yang sudah bisa menikah harus segera menikah dan dengan demikian akan mencegah terjadinya kemalasan, hidup menggelandang, dan kenakalan lainnya serta mendorong pertambahan penduduk secara tetap”, dikutip Peter Boomgard pada Anak Jajahan Belanda: Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa 1795-1880.

Kejombloan jelas diterjemahkan pemerintah sebagai masalah ekonomi. Pemerintah menggariskan, seturut Boomgaard, hanya pasangan menikah bisa membentuk satuan ekonomis dan mampu mencukupi kebutuhan. Mereka menjadi motor penggerak semua kewajiban sosial, ekonomi, dan politik terhadap komunitas lokal dan negara.

Sebaliknya, lanjut Boomgaard, kaum jomblo, duda, dan janda tidak dianggap sebagai satuan sosial dan ekonomi nan utuh dan lengkap. Di daerah-daerah dengan sistem kepemilikan tanah umum, tidak memperkenankan golongan tersebut menjadi pemilik tanah.

Lagi pula, pada sekira tahun 1900 orang Jawa menganggap hidup membujang atau jomblo pada usia tertentu sebagai kekeliruan atau menyimpang kodrat. “Tidak dapat disangkal bahwa di Jawa hampir semua orang menikah. Tidak ada adat kebiasaan atau lembaga yang melarang pernikahan,” tulis Boomgaard.

Tak heran bila status menikah senantiasa didorong penguasa Jawa maupun penguasa Belanda. Jelaslah, baik komunitas desa dan negara menganggap pernikahan sebagai hal penting mewujudkan tatanan masyarakat harmonis dan produktif.

Sementara, negara sangat tertarik dengan status pernikahan karena membuat warga memiliki penghasilan sehingga bisa membayar pajak kepada negara. (*)

#Jomblo #Sejarah Indonesia #Pemerintah Kolonial
Bagikan
Bagikan