MerahPutih.com - Isu cawe-cawe Presiden Joko Widodo masih menarik dibahas. Sebagian kalangan khawatir akan pergerakan orang nomor satu di Indonesia ini. Anggota DPR sekaligus Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid, mengingatkan setidaknya ada yang perlu diperhatikan yakni ‘menghargai perbedaan’, ‘jujur dalam persaingan’, dan kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar’.
“Sikap cawe-cawe terhadap pemilu sangat dikhawatirkan dapat menghadirkan ketidak sesuaian dengan ketentuan-ketentuan etika bernegara dan berbangsa yang dinyatakan oleh TAP MPR tersebut,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Sabtu (10/6).
Baca Juga:
Pandangan Hidayat Nur Wahid soal Isu Jokowi jadi Cawapres 2024
Bahwa cawe-cawe juga bisa tidak sejalan dengan norma sumpah jabatan Presiden yang secara jelas tertuang dalam Pasal 9 ayat (1) UUD NRI 1945 dan telah diucapkan oleh Presiden Jokowi di depan sidang paripurna MPR.
Isi sumpah tersebut adalah, ‘Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang – Undang Dasar dan menjalankan segalanya undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.’
Sumpah tersebut secara tegas menyebutkan bahwa Presiden Jokowi akan melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya, seadil-adilnya, dan selurus-lurusnya.
Presiden dengan sumpah jabatannya itu, tidak lagi sekedar politisi, bahkan bukan sekedar kepala pemerintahan, tetapi juga kepala negara, menjadi Negarawan untuk mengayomi semua warga bangsa, dan semua kelompok termasuk kelompok yang mungkin berbeda organisasi atau orientasi politiknya dengan Presiden.
"Sikap cawe-cawe dengan memihak/meng-endorse dan memfasilitasi kepada kelompok politik dan bacapres tertentu saja dengan mengabaikan yang lain, mudah dinilai sebagai tidak memenuhi prinsip keadilan apalagi yang seadil-adilnya sebagaimana yang diucapkan dalam sumpah jabatan tersebut,” ujarnya.
Selain soal keadilan, HNW juga mengingatkan bahwa sumpah jabatan Presiden adalah untuk menjalankan undang-undang dengan selurus-lurusnya. Maka bila merujuk ke UU Pemda, kewenangan pemerintah pusat baik absolut maupun konkuren tidak satu pun menyebutkan berkaitan dengan pemilihan umum.
“Karena soal pemilu telah diserahkan untuk diselenggarakan oleh lembaga independen yaitu KPU (Komisi Pemilihan Umum) sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (5) UUD NRI 1945,” ungkapnya.
Baca Juga:
Hidayat Nur Wahid Apresiasi Kesepakatan MPR Batalkan Amendemen Konstitusi
Maka HNW juga sependapat dengan Wakil Presiden 2014-2019 Jusuf Kalla yang menyatakan bahwa sikap cawe-cawe akan menunjukkan ketidaknetralan, dan itu dapat berimbas dan diikuti oleh aparat pemerintah di bawahnya, baik itu eksekutif maupun yudikatif, bahkan TNI dan Polri dengan dalih kemaslahatan dan menghilangkan riak.
Bila itu yang terjadi maka cawe-cawe tersebut akan menghadirkan proses Pemilu dan menghasilkan pemilu yang tidak sesuai dengan Konstitusi (UUD NRI 1945 psl 22E ayat 1) yang berlaku di era Reformasi yaitu : bebas, rahasia, jujur dan adil.
“Maka semua pihak perlu berkontribusi positif hadirkan Pemilu yang sesuai dengan Konstitusi dan UU, dan tidak perlu cawe-cawe di luar itu, karena sangat tidak sesuai dengan cita-cita Reformasi, dan menjadi legacy yang tidak konstruktif untuk kemajuan bangsa dan kwalitas demokrasi di NKRI,” ujarnya.
Jadi, seharusnya Presiden Jokowi konsisten saja dengan sikap yang dinyatakan sebelumnya bahwa tidak akan cawe-cawe soal Pemilu, dan dengan itu membuat legacy, melanjutkan kenegarawanan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pada akhir periode kedua menjelang Periode 2014, sekalipun ada riak-riak, tapi tetap netral dan tidak cawe-cawe.
Sehingga hasilnya demokrasi dan pemilu berjalan dengan baik, estafet kepemimpinan terjadi tanpa riak yang berarti. Dengan itulah dahulu Presiden Jokowi terpilih pada periode pertamanya. Dan dengan sikap kenegarawanan yang mengayomi semuanya dengan berlaku adil pada semuanya, Presiden Jokowi justru bisa menyaksikan demokrasi yang lebih dewasa dan substansif, melalui kompetisi yang adil dan profesional dilakukan oleh banyak kader muda bangsa yang potensial, calon-calon pemimpin bangsa.
"Yang bila itu terjadi, maka itu juga akan jadi legacy sukses Presiden Jokowi mengelola peralihan kepemimpinan Nasional dengan spirit demokrasi kenegarawanan, dan itu menenteramkan bangsa dan partai-partai, dan karenanya riak-riak pun akan dengan sendirinya terkoreksi,” pungkasnya. (Knu)
Baca Juga:
Hidayat Nur Wahid Minta Menag Maksimalkan Kuota Haji Tahun Ini