MerahPutih.com - Rencana memindahkan ibu kota negara ke wilayah Kalimantan Timur terus menguat. Saat ini, DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN) menjadi undang-undang.
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menilai, pemindahan ibu kota Negara merupakan suatu hal yang sangat krusial. Karena menyangkut eksistensi dan masa depan seluruh warga NKRI, bukan hanya terkait dengan sebagian elite politik di Jakarta.
Maka, kata pria yang akrab disapa HNW, bila dalam proses pembuatan dan pengujian keputusannya juga melibatkan sebanyak-banyaknya komponen rakyat Indonesia.
Baca Juga:
Ibu Kota Pindah ke Kalimantan Timur, DPRD DKI: Ekonomi Jakarta bakal Anjlok
“Melalui salah satu caranya adalah referendum (jajak pendapat) rakyat Indonesia sebagai wujud nyata membuka peluang partisipasi masyarakat seluas-luasnya,” ungkap Hidayat kepada wartawan yang dikutip di Jakarta, Kamis (20/1).
"Ini sesuai dengan dalam Pasal 96 UU no 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan UU No 15 Tahun 2019," tambah dia.
Ia juga mengkritisi RUU yang membahas soal ibu kota negara yang disetujui oleh pemerintah dan DPR.
"Tetapi dalam proses pembahasannya belum membuka partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya sebagaimana diatur dalam UU," sebut HNW.
Bahkan, lanjut HNW, baru satu hari RUU tersebut disetujui di DPR, suara penolakan terbuka justru datang dari Kalimantan Timur. Seperti sebagian warga menyampaikan penolakan terhadap UU IKN dengan membentuk Koalisi Masyarakat Kaltim, yang terdiri dari Walhi Kaltim, LBH Samarinda, dan Jatam Kaltim.
HNW menduga, penolakan ini karena mereka tidak mendapatkan sosialisasi yang cukup maupun akses untuk bisa berpartisipasi sebagaimana hak itu diberikan oleh UU.
"Perlu adanya referendum secara umum Pasal 96 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," jelas HNW.
Baca Juga:
Wantimpres Desak Pemerintah Sosialisasikan Pembangunan Ibu Kota Baru
HNW mengatakan, upaya meminta jawaban atau pandangan dari rakyat Indonesia dapat membuat keputusan memindahkan atau tidak memindahkan ibu kota negara semakin memenuhi tata krama dan memiliki legitimasi.
Hal ini dinilai wajar dilakukan agar suatu kebijakan sekelas pemindahan ibu kota negara yang menyangkut seluruh warga negara itu, bisa berlaku dengan elegan.
"Karena rakyat telah dihormati haknya dan secara legowo telah menyampaikan pendapatnya," jelas HNW.
Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengingatkan agar pemerintah dan mayoritas Fraksi di DPR mengambil pelajaran dari permasalahan pembahasan RUU Cipta Kerja sebelumnya.
Ia menuturkan, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan RUU Cipta Kerja itu sebagai inkonstitusional bersyarat.
"Itu karena tidak memaksimalkan pelibatan partisipasi masyarakat dalam pembahasannya. Sehingga perlu adanya pelibatan masyarakat dalam pembahasan ibu kota negara agar tak menuai permasalahan di kemudian hari," tutup HNW.
Sebelumnya, salah satu alasan yang mengharuskan ibu kota Indonesia harus pindah dari DKI Jakarta adalah banjir. Hal itu juga berdasarkan hasil kajian yang dilakukan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas).
Menteri PPN/Kepala Bappenas saat itu, Bambang Brodjonegoro mengatakan, selain banjir, kemacetan juga menjadi faktor lainnya. Rugi akibat kemacetan yang terjadi di Indonesia sudah hampir ratusan triliun.
"Kerugian perekonomian dari kemacetan ini data tahun 2013 ini Rp 65 triliun per tahun dan sekarang angkanya mendekati Rp 100 triliun dengan semakin beratnya kemacetan di wilayah DKI Jakarta," kata Bambang di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (29/4/2019) lalu.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Wandy Tuturoong menepis anggapan proses pembahasan dan pengesahan RUU Ibu Kota Negara (IKN) menjadi undang-undang sangat singkat dan terburu-buru.
Menurutnya, perumusan UU IKN sudah melalui proses diskusi yang matang dan komprehensif.
"Ini yang harus diketahui oleh publik bahwa komunikasi dengan pemerintah, khususnya Bappenas, dalam persiapan draf RUU, perpres bahkan rancangan masterplan sudah berlangsung lama, sejak periode lalu," terang Wandy Tuturoong atau yang akrab disapa Binyo, dalam keterangan tertulis, Rabu (19/1). (Knu)
Baca Juga:
Pansus IKN Nusantara Ingin Jakarta Tetap Sandang Status Khusus Meski Bukan Ibu Kota