JANGAN bicara futsal di era 90-an. Lapangannya belum ada. Caranya mainnya pun belum populer. Apalagi sewa lapangan di masa tersebut seolah hanya berlaku bagi lapangan sepak bola (soccer).
Kebanyakan penggemar bola di Jakarta tahun 1990-an bermain bola di lapangan dekat lingkungan tempat tinggal. Bolanya berbeda. Bola plastik cap panda. Pemainnya antara 4-6 berikut kiper. Tergantung luas lapangan. Kebanyakan semua soal kesepakatan atau kebiasaan di tempat tersebut.
Baca juga:
Misalnya, soal garis out, corner kick, dan lainnya. Bola keluar saja kemudian bisa dilempar atau ada juga ditendang. Begitu pula sepak sudut, ada disepak tapi di tempat lain mungkin dilempar.
Bagaimana soal waktu pertandingan? Lagi-lagi soal kesepakatan. Mungkin ada tempat memang menggunakan waktu tetapi tidak persis seperti aturan sepak bola profesional. Paling lama sekitar dua puluh sampai tiga puluh menit. Malah, paling khas kalau soal waktu, kesepakatannya pertandingan habis ketika kumandang adzan maghrib karena biasanya mulai bermain jam lima sore.

Jangan pusing soal pergantian pemain, sebab bisa sesukanya asalkan stok pemain tersedia. Namun, ketika memang ada kesepakatan di awal hanya boleh ganti pemain tiga tentu semua tim akan mengamini.
Nah, soal tendangan bebas. Jangan dibayangkan peraturan tendangan bebas seperti pertandingan sepak bola resmi. Kebanyakan tak ada pelanggaran selain hansball. Lagipula, mau ada hansball di area mana pun tetap saja titik tendangan bebas di dekat garis tengah lapangan.
Baca juga:
Oiya, penalti? Kalau pertandingan berjalan sih kayaknya jarang ada penalti. Meski terjadi hansball di kotak penalti, tetap saja hitungannya tendangan bebas.
Perkara gol juga semakin rumit kalau main bola plastik. Tak sering, soal gol kemudian jadi prahara di luar lapangan. Mengapa hal tersebut terjadi? Tentu karena tiangan gawang tak seperti pada peraturan resmi sepak bola.

Jangan dibayangkan ada tiang lalu tersambung berbentuk persegi panjang dengan ukuran sesuai aturan baku. Penanda gawang biasanya sandal jepit, batu, kaleng, dan benda-benda di sekitar.
Di tiap tempat, karena gawangnya berbeda-beda, maka kesepakatan golnya pun lain-lain. Ada tempat bersepakat gol harus geleser pol. Bola naik sedikit langsung anulir. Namun, ada memang sampai batas atas gawang, misal kaleng, berarti sampai atas kaleng.
Namun, kesepakatan akan jadi perdebatan terus karena tak ada wasit apalagi VAR. Jadi, biasanya ada-ada saja akal-akalan untuk menganulir gol.

Misalnya, bola kena gawang. Sedikit saja bola menyentuh gawang dibilang batal gol. Padahal bola masuk namun tetap saja anulir.
Kadang dianulir karena bola naik dari permukaan bidang permainan. Anulir gol tersebut terjadi karena kesepakatannya gol harus geleser.
Acap pula gol dianulir karena kiper diajak ngobrol atau belum siap. Memang ada-ada saja akal-akalan kiper bola plastik. Alhasil pertandingan jadi berlangsung alot bukan karena tak ada bola masuk gawang, tetapi karena kiper banyak alasan. (*)
Baca juga: