Hari Film Nasional

Mirisnya Penyimpanan Koleksi Film Indonesia

P Suryo RP Suryo R - Jumat, 30 Maret 2018
Mirisnya Penyimpanan Koleksi Film Indonesia
Ribuan judul film disimpan disini. (Foto: MP/Iftinavia Pradinantia)

SINEMATEK Indonesia merupakan lembaga pengarsipan film yang didirikan oleh Misbach Yusa Biran pada 1975. Lembaga tersebut dibangun dengan perjuangan besar sutradara handal era 50an hingga 90an tersebut.

Demi membangun Sinematek, ia rela pergi sejenak dari industri film Indonesia. Dirinya bahkan harus rela hidup pas-pasan dan tinggal di sebuah kos-kosan sederhana. Untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari pun ia banyak dibantu oleh istrinya yang juga seorang aktris kawakan, Nani Wijaya.

penyimpanan film
Ruangan yang harus dijaga kelembabannya. (Foto: MP/Iftinavia Pradinantia)

Sebagai seorang sutradara, dirinya mengaku tak piawai dalam mengarsipkan dokumen. Kemampuannya yang terbatas itu membuat koleksi-koleksi film di Sinematek Indonesia dalam kondisi memprihatinkan.

Ribuan seluloid (pita film), poster film dan naskah film tersimpan di sebuah ruangan Dokumentasi - Peralatan Film yang terletak di lantai dasar Sinematek Indonesia. Koleksi tersebut disimpan di sebuah ruangan bersuhu sembilan derajat celcius.

“Ruangan ini memang harus dijaga kelembabannya agar pita film tidak berjamur,” ucap Koordinator Dokumentasi - Peralatan Film, Firdaus. Untuk menjaga suhu dan kelembaban di ruangan tersebut, pihak Sinematek memasang sebuah pendingin ruangan berukuran 7,5 x 2,5 meter.

Kami berkesempatan untuk masuk ke gudang arsip penyimpanan film-film tersebut. Gudang tempat penyimpanan tersebut agak pengap dan minim pencahayaan. Ruangan tersebut cukup luas dan menampung ribuan film.

Film-film tersebut diletakkan di sebuah rak panjang. Sementara di bagian pojok, poster-poster film lawas dibiarkan teronggok begitu saja. Beberapa poster sudah sangat tipis dan sobek di bagian ujungnya. Padahal poster-poster klasik tersebut bernilai puluhan juta rupiah.

“Jangan kaget ya, nilai poster ini minimal 10 juta rupiah loh,” ungkap Firdaus Ruangan Dokumentasi - Peralatan Film, Sinematek, Rabu (28/3).

penyimpanan film
Poster film yang termasuk dalam arsip film. (Foto: MP/Iftinavia Pradinantia)

Sama seperti koleksi poster, kondisi koleksi film pun cukup memprihatinkan. Pita yang terdapat di seluloid tersebut kerap kali bermasalah. Salah satu pita film yang mengalami kerusakan yakni seluloid film Tie Pat Kai Kawin (Siloeman Babi Perang Siloeman Monyet). Masalah pada pita film tahun 1935 tersebut adalah film sudah bergelombang, peforasi film kusut, emulsi mengkristal, film rapuh, dan tingkat keasaman tinggi.

Seluloid yang memiliki kondisi serupa yakni seluloid pada film Bintang Ketjil yang diproduksi pada 1963. Di pita tersebut Firdaus menempelkan secarik kertas yang berisi keterangan kondisi film yang disutradarai Wim Umboh dan Misbach Yusa Biran tersebut.

Berdasarkan keterangan yang ditulis oleh Firdaus kita bisa mengetahui bahwa kondisi pita film tersebut rapuh, peforasi tergores, gambar baret-baret dan sedikit asam. Selain kertas keterangan. Firdaus juga menempelkan secarik acid detector berwarna biru ke pita film. Perlahan-lahan kertas tersebut berubah warna menjadi kuning. Menurut Firdaus, perubahan warna pada acid detector terjadi apabila terdapat jamur pada seluloid tersebut.

Permasalahan pada seluloid rentan dialami oleh pita film yang diproduksi sangat lama. Bukan berarti film modern tak mengalami permasalahan serupa. Film Cokelat Stroberi yang diproduksi tahun 2007 juga mengalami hal serupa. “Ketika kami terima, kondisi film sudah lumayan berjamur,” jelas Firdaus.

Ketika ia membuka gulungan pita film, ia melihat film yang diperankan Marsha Timothy tersebut dalam keadaan berjamur. Menurutnya seluloid berjamur merupakan masalah yang paling banyak terjadi pada rol film.

Dirinya merupakan sosok yang berjasa dalam menjaga kualitas seluloid-seluloid tersebut. Setiap hari, ia mengecek satu persatu roll film yang disimpan di gudang arsip tersebut. Ia mengurai satu persatu roll film tersebut. Firdaus menceritakan bahwa dalam sehari, ia bisa mengecek dua judul film. Dalam waktu satu bulan ia bisa mengerjakan empat puluh judul film.

“Satu judul biasanya terdiri dari enam seluloid. Namun jumlah tersebut bisa berbeda-beda setiap film,” bebernya. Seperti film Penghianatan G30 S PKI yang menghabiskan hingga 13 roll film.

penyimpanan film
Keterbatasan dana menjadi ancaman penyimpanan film ini. (Foto: MP/Iftinavia Pradinantia)

Beberapa pita film yang berjamur ia bungkus dengan tissue. “Roll film yang berjamur harus dibungkus dengan tissue selama tiga hari. Setelah jamur mulai layu saya bersihkan dengan campuran multicoid cine film cement dan alkohol,” urai pria yang telah bekerja di sana selama 22 tahun tersebut. Gulungan film tersebut ia bersihkan secara manual. Gulungan pita seluloid yang sudah dibersihkan digulung secara fleksibel. Hal tersebut dilakukan agar pita film tidak rapuh.Selanjutnya pita dibungkus dengan plastik untuk menghalau jamur.

Gulungan-gulungan pita film tersebut ia periksa secara rutin tiap empat bulan sekali.

Firdaus mengungkapkan bahwa film-film koleksi Sinematek Indonesia mayoritas merupakan hibah dari pihak pembuat film. Sebagian lainnya dititipkan oleh pihak pembuat film. “Beberapa production house menitipkan koleksinya di sini,” jelasnya. Di ruang arsip penyimpanan film tersebut juga terdapat kaset dan roll film dari negara lain seperti Kanada dan Perancis. Film-film tersebut merupakan film dokumenter dan dihibahkan dari Pusat Kebudayaan negara-negara tersebut. Kita juga bisa menemukan sejumlah laserdisk film Hollywood seperti Ghost dan ET atau laserdisk film Indonesia seperti Lupus.

Di samping gudang penyimpanan, terdapat ruangan kerja Firdaus. Di dalam ruangan itulah pria berusia 47 tahun tersebut biasa memeriksa satu persatu judul film. Ketika masuk ke ruangan tersebut, kita akan disambut sejumlah poster film lawas yang sudah dibingkai dan ditempel di sepanjang lorong masuk.

Poster-poster tersebut di antaranya poster film Malam Pengantin, Ibunda, Badai Pasti Berlalu, Dr Karmila dan lain-lain. Di depan meja kerjanya tergeletak beberapa seluloid yang baru diperiksa Firdaus. Walaupun luas, ruangan kerjanya jauh dari kata layak. Ia bekerja di dalam ruangan yang gelap dan tak kalah pengab dari ruangan arsip film.

Perawatan film-film tersebut dilakukan secara sederhana dan manual oleh Firdaus dan beberapa rekannya, mengingat terbatasnya anggaran. “Setiap bulan kami hanya dapat Rp 1000.000 untuk perawatan,” bebernya. Dalam keterbatasa, Firdaus tetap berkomitmen untuk merawat hasil karya anak bangsa. (avia)

#Film
Bagikan
Ditulis Oleh

Iftinavia Pradinantia

I am the master of my fate and the captain of my soul
Bagikan