Secuplik Riwayat

MH Thamrin, Politikus Betawi dan Napas Perjuangan Bung Karno

Noer ArdiansjahNoer Ardiansjah - Jumat, 16 Februari 2018
MH Thamrin, Politikus Betawi dan Napas Perjuangan Bung Karno
Mohammad Husni Thamrin dan istri, nyonya Otoh. (Repro Merahputih.com/Museum HM Thamrin)

MESKI bercampur darah Inggris dari kakeknya yang bernama Ort, Mohammad Husni Thamrin tetap menjadi salah satu tokoh nasional yang sangat berjasa bagi bangsa. Thamrin lahir di Weltevreden, Batavia, Jumat, 16 Februari 1984.

Ibu Thamrin merupakan perempuan Betawi, bernama Noeraini. Sedangkan ayahnya bernama Thamrin Mohamad Thabrie, yang pada tahun 1908 pernah menjadi Wedana Batavia, jabatan tertinggi nomor dua bagi pribumi.

Menurut Arya Ajisaka dalam buku Mengenai Pahlawan Indonesia, meskipun hanya tamatan Hogere Burgerschool (HBS, setara SMU), Thamrin dikenal fasih berbahasa Belanda, serta mampu berdebat dengan baik. Sehingga, karier Thamrin di pemerintahan kolonial Belanda pun berjalan lancar.

Sementara, Asvi Warman Adam dalam buku Membongkar Manipulasi Sejarah; Kontroversi Pelaku dan Peristiwa mengatakan, Thamrin memulai karier sebagai pegawai magang di Residen Batavia dan pegawai klerk (juru tulis) di perusahaan pelayaran Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM, Perusahaan Pelayaran Kerajaan). Lalu Thamrin duduk di Gemeenteraad (Dewan Kota, 1919-1927) kemudian di Volskraad (Dewan Rakyat 1927-1941).

Dua Strategi Perjuangan

Perjuangan melawan kolonial Belanda dilakukan tokoh-tokoh pergerakan dengan dua macam strategi; bekerja sama dengan pihak kolonial atau lawan. Bila dwitunggal Sukarno-Hatta disebut perpaduan Jawa-luar Jawa serta gabungan orator ulung dengan administrator andal.

Sedangkan pasangan Thamrin-Sukarno, justru dilihat sejarawan Bob Hering sebagai paduan modus perjuangan secara kooperatif dengan nonkooperatif. Pada saat Sukarno berpidato tentang makro, seperti falsafah dan ideologi negara, Thamrin malah membahas persoalan mikro, seperti kampung yang becek tanpa penerangan dan masalah banjir.

Kedua strategi tersebut, terbukti saling melengkapi perjuangan bangsa dalam mencapai kemerdekaan. Bahkan dari tahun 1933 sampai 1942 saat pergerakan Sukarno-Hatta-Sjahrir terkesan mandek, justru Thamrin tetap bergerak dengan bersemangat di Volksraad.

Selain itu, Thamrin kerap disebut satu napas dengan Bung Karno. Ia hadir saat Sukarno diadili, dan dijebloskan ke penjara, saat Bung Karno dibuang ke Ende. Ia juga pernah menjadi tahanan rumah oleh kolonial Belanda setelah Sukarno berkunjung ke rumahnya.

Dengan demikian, Thamrin menjadi tali penghubung (trait d’union) kelompok pergerakan yang kooperatif dan nonkooperatif, juga antara kelompok pergerakan dengan Volksraad.

Menurut surat kabar Bintang Timur (15 Juli 1933), Thamrin adalah kampiun kaum nasionalis di Volksraad yang tak diragukan, yang berani mengingatkan pemerintah dalam banyak isu penting.

Sementara itu, Koran Adil (17 Juli 1933) mengungkapkan, Thamrin selalu menyampaikan pidato dengan argumen yang tepat, yang membuat darah tukang lobi anti-Indonesia Merdeka, seperti Fruin dan Zentgraaff jadi mendidih.

Tak kibarkan bendera Belanda

Meski pada mulanya dipandang sebagai tokoh kooperatif, namun pada akhir hayatnya Thamrin dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial Belanda. Hal itu tercermin saat ulang tahun Ratu Wilhelmina (31 Agustus 1940). Sebagai pegawai pemerintah kolonial, sangat lazim apabila mengibarkan bendera Belanda di rumah masing-masing. Namun, tidak pada Thamrin.

Dalam suatu kesempatan, ia juga mempelesetkan JINTAN, obat kumur murah buatan Jepang, menjadi "Jenderal Japan Ini Nanti Toeloeng Anak Negeri". Selain itu, tokoh Jepang Kobajashi dipanjangkan menjadi "Koloni Orang Belanda akan Japan Ambil Seantero Indonesia".

Akibatnya, Thamrin kembali dikenai tahanan rumah karena dianggap tidak setia kepada Belanda dan main mata dengan pihak Jepang.

Beberapa sebelum meninggal, Jumat, 10 Januari 1941, Thamrin diketahui mengalami gangguan ginjal dan malaria akibat kecapaian. Di rumahnya, di Jalan Sawah Besar No 32, sang istri, nyonya Otoh meminta polisi agar mengizinkan kunjungan dokter.

Suhu badan Thamrin semakin tinggi. Bahkan Thamrin hampir tak dapat bicara. Dokter yang telah tiba, segera memberi suntukan untuk menurunkan panasnya. Namun, penyakitnya tak dapat tertolong. Pada subuh, Sabtu 11 Januari 1941, MH Thamrin meninggal.

Masih menurut Asvi Warman Adam dalam buku Membongkar Manipulasi Sejarah; Kontroversi Pelaku dan Peristiwa, pada waktu pemakaman ke kuburan Karet, lebih dari 20.000 orang mengantarkan jenazah tokoh Betawi itu ke peristirahatan terakhir.

Untuk mengenang segala jasa-jasa Thamrin, pada tahun 1960, Presiden Sukarno menyematkan gelar Pahlawan Nasional untuk politikus Betawi yang terkenal santun itu. (*)

#Secuplik Riwayat #Pahlawan Nasional #MH Thamrin
Bagikan
Ditulis Oleh

Noer Ardiansjah

Tukang sulap.
Bagikan