Mereka Juga Sastrawan Indonesia

P Suryo RP Suryo R - Sabtu, 21 Mei 2022
Mereka Juga Sastrawan Indonesia
Karya sastra merupakan warisan intelektual Indonesia yang begitu membanggakan. (Foto: freepik/jannoon028)

SASTRAWAN menjadi salah satu orang yang berjasa dalam kehidupan orang lain lewat kata-kata yang dibuatnya. Mulai dari cerpen, kritik, hingga puisi, seakan mampu menyihir para pembacanya. Kita pun bisa terbuai dalam sajak-sajak yang ditulisnya.

Salah satu warisan intelektual Indonesia yang begitu membanggakan adalah karya sastra. Hingga saat ini jutaan karya sastra yang telah diterbitkan dan dibagi dalam beberapa periodisasi waktu. Dalam setiap periodisasi, terdapat tokoh-tokoh fenomenal yang namanya masih terus harum hingga saat ini.

Baca Juga:

Sastra Diharapkan Tetap Jadi Inspirasi di Industri 4.0

sastra
Sapardi Djoko Damono, syair-syair pada setiap puisi yang ditulisnya selalu mengena di hati. (Foto: indonesiakaya)

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono merupakan sastrawan yang lahir di Surakarta pada 20 Maret 1940. Sapardi meninggal pada usia 80 tahun. Penyair yang mulai aktif menulis sejak duduk di bangku SMP ini, pernah menjabat sebagai dekan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia pada periode 1995-1999.

Syair-syair pada setiap puisi yang ditulisnya selalu mengena di hati para pembaca, seperti dalam Hujan Bulan Juni, Aku Ingin, Akulah si Telaga, Pada Suatu Hari Nanti, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari.

Gak cuma berbakat dalam menulis puisi, Sapardi juga berbakat menjadi penerjemah. Beberapa karya dalam bahasa asing yang pernah ia terjemahkan ke bahasa Indonesia yaitu, The Old Man and the Sea karya Hemingway dan Daisy Milles karya Henry James.

W.S.Rendra

Willibrordus Surendra Broto Rendra atau yang lebih dikenal W.S. Rendra merupakan penyair, dramawan, pemeran dan sutradara teater kebanggaan Indonesia kelahiran Solo, 7 November 1935. Rendra mengenyam pendidikan di Universitas Gadjah Mada dan mendapat gelar Doctor Honoris Causa. Penyair yang diberi julukan 'Burung Merak' ini pertama kali mempublikasikan karyanya pada tahun 1952. Rendra merupakan meraih berbagai penghargaan, beberapa diantaranya seperti Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970), Penghargaan Adam Malik (1989) dan The S.E.A. Write Award (1996).

Karya-karya Rendra banyak yang diterjemahankan ke dalam Bahasa asing seperti Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, Rusia dan India. Beberapa judul puisi Rendra yang terkenal misalnya Sajak-sajak Cinta, Sajak orang Lapar, Doa seorang Serdadu sebelum Perang, Mazmur Mawar, Gugur, Hai Ma!, dan lain-lain. Rendra wafat di usia 73 tahun pada 6 Agustus 2009 di Depok.

Marah Rusli

Marah Rusli bin Abu Bakar. Ia dilahirkan di Padang pada tanggal 7 Agustus 1889. Karyanya yang berjudul Siti Nurbaya (sebuah roman) diterbitkan pada tahun 1920 sangat banyak dibicarakan orang, bahkan sampai kini.

Alam Siti Nurbaya telah diletakkan landasan pemikiran yang mengarah pada emansipasi wanita. Cerita itu membuat wanita mulai memikirkan akan hak-haknya, apakah ia hanya menyerah karena tuntutan adat (dan tekanan orang tua) ataukah ia harus mempertahankan yang diinginkannya.

Roman Siti Nurbaya mendapat hadiah tahunan dalam bidang sastra dari Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1969 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia. Selain Siti Nurbaya, Marah Rusli juga menelurkan karya lain di antaranya La Hami (1924), Anak dan Kemenakan (1956), Memang Jodoh (naskah roman), dan Tesna Zahera (naskah Roman).

Baca Juga:

Bagaimana Generasi Milenial Memandang Sastra?

sastra
Seno Gumira Ajidarma, sosok serba bisa di bidang sastra, jurnalistik dan fotografi (Foto: indonesiakaya)

Nh. Dini

Nama Nh. Dini merupakan singkatan dari Nurhayati Srihardini. Nh. Dini dilahirkan pada tanggal 29 Februari 1936 di Semarang, Jawa Tengah. Ia adalah anak kelima (bungsu) dari empat bersaudara.

Bakat menulisnya tampak sejak berusia sembilan tahun. Pada usia itu ia telah menulis karangan yang berjudul Merdeka dan Merah Putih. Tulisan itu dianggap membahayakan Belanda sehingga ayahnya harus berurusan dengan Belanda.

Nh. Dini telah melahirkan banyak karya puisi, novel, dan buku terjemahan. Penghargaan yang telah diperolehnya adalah hadiah kedua untuk cerpennya Di Pondok Salju yang dimuat dalam majalah Sastra (1963), hadiah lomba cerpen majalah Femina (1980), dan hadiah kesatu dalam lomba mengarang cerita pendek dalam bahasa Prancis yang diselenggarakan oleh Le Monde dan Radio France Internasionale (1987).

Djenar Maesa Ayu

Djenar Maesa Ayu atau yang akrab disapa Nai adalah salah penulis yang berbakat di Indonesia. Nai yang lahir di Jakarta tanggal 14 Januari 1973 berasal dari keluarga seniman.

Nai memulai menggeluti menulis dengan menemui sejumlah sastrawan seperti Budi Darma, Seno Gumira Ajidarma, dan Sutardji Calzoum Bachri. Salah satu ciri karyanya adalah temanya dunia perempuan dan seksualitas. Karya pertamanya adalah cerpen Lintah (2002) yang bertema feminisme.

Buku pertama Nai berupa kumpulan cerpen yang berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet! (2004). Buku ini telah dicetak ulang delapan kali dan masuk dalam sepuluh buku terbaik Khatulistiwa Literary Award 2003 dan telah diterbitkan dalam bahasa Inggris.

Karya lainnya, berupa kumpulan cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) juga mendapat penghargaan lima besar Khatulistiwa Literary Award 2004. Cerpen Menyusu Ayah menjadi Cerpen Terbaik 2003 versi Jurnal Perempuan dan diterjemahkan oleh Richard Oh. ke dalam bahasa Inggris dengan judul Suckling Father untuk dimuat dalam Jurnal Perempuan versi bahasa Inggris khusus edisi karya terbaik.

Seno Gumira Ajidarma

Seno Gumira Ajidarma, sosok serba bisa di bidang sastra, jurnalistik dan fotografi, yang sejumlah karya cerita pendeknya pernah menghipnotis banyak orang dan meraih berbagai penghargaan. Pria kelahiran 19 Juni 1958 ini juga dikenal melalui karya sastranya yang berwarna politik, selain kemampuannya yang luar biasa dalam melahirkan karya-karya sastra secara produktif.

Ia merupakan penulis serba bisa, mulai dari esai, puisi, novel hingga roman. Karya-karyanya sering wara-wiri di berbagai media massa. Salah satu novelnya yang berhasil terbit adalah Matinya Seorang Penari Telanjang (2000).

Tahun 1987, ia berhasil meraih penghargaan Sea Write Award yaitu penghargaan bagi penulis se-Asia Tenggara. Selain itu, Seno juga meraih penghargaan Dinny O'Hearn Prize For Literary pada tahun 1997 untuk cerpennya yang berjudul Saksi Mata.

"Orang boleh pandai setinggi langit, akan tetapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam
masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. (Pram)". (DGS)

Baca Juga:

Mengenal Karya-karya Sastra Populer di Indonesia

#Lipsus Mei Sastra
Bagikan
Ditulis Oleh

P Suryo R

Stay stoned on your love
Bagikan