Menziarahi Monumen Musik Bawah Tanah Bandung Lewat Gelora; Magnumentary of Gedung Saparua

Yudi Anugrah NugrohoYudi Anugrah Nugroho - Sabtu, 26 Juni 2021
Menziarahi Monumen Musik Bawah Tanah Bandung Lewat Gelora; Magnumentary of Gedung Saparua
Poster dokumenter 'Gelora Magnumentary of Gedung Saparua'. (richmusic)

SELURUH penonton berjingkrak, berhimpitan, beradu sikut, beberapa bahkan naik panggung lalu kembali terjun bebas meningkahi raungan musik serta aksi panggung Burgerkill saat membawakan lagu Sakit Jiwa pada dekade 90-an di GOR Saparua.

Tak ada ruang kosong di dalam gedung. Semua bergerak liar dari tribune apalagi lantai bawah. Mereka ikut bernyanyi. "Merinding gue," kenang Aries Tanto atau karib disapa Ebenz, gitaris Burgerkill, mengenang sambutan penonton di GOR Saparua pada film dokumenter Gelora; Magnumentary of Gedung Saparua.

Baca juga:

Maternal Disaster Trendsetter Apparel Penggemar Musik Cadas Tanah Air

Energi penonton membuat siapa saja penampil dari band lain termasuk Ebenz jadi semakin menggila di atas panggung. "And you become a monster," katanya memaparkan keasyikan manggung di GOR Saparua masa silam.

Film dokumenter garapan sutradara Alvin Yunata tersebut menyajikan kesaksian para pelaku di ekosistem musik Saparua untuk menceritakan pengorganisasian acara, aksi penampil, kelahiran zine, sejarah gedung, hingga animo penonton.

Era 90-an menjadi puncak kegemilangan GOR Saparua, terutama bagi skena musik bawah tanah (Underground). Acara Hullabaloo 1 pada 1994 jadi pelopor dengan mengusung semangat "If you hate the commercial bands, support your local underground bands".



Di dalam gedung tak ada saf sisa. Penonton membludak, kapasitas GOR semestinya menampung sekitar 3.000 orang, disesaki lebih dari 7.000. Panitia sampai harus bersiaga ketat di depan pintu utama membendung arus penonton nan membanjiri area luar ingin ikut bergabung. Pemandangan tersebut acap terjadi di setiap akhir pekan.

Di ‘Hullabaloo’ semuanya bermain satu panggung, dengan genre sangat beragam. Usai Burgerkill, band berlainan genre semisal SKA, Brit Pop, Skin Head, Punk, Alternatif, sampai Hip-Hop tetap beroleh sambutan hangat sehingga muncul istilah ‘Bhinneka Tunggal Saparua’.

"Massa sebelumnya Hard Core, tapi saya PD (percaya diri) aja bawain lagu kita sukai. Dan saat itu di Hullabaloo semua bisa menikmati. Mereka moshing, loncat dari panggung, dan paling depan Arian 13 (vokalis Seringai)," kata Muhammad Suar Nasution, mantan vokalis Pure Saturday.

Penonton tetap menikmati berbagai varian musik dengan berdansa ria di moshpit, berstomping, stage dive, bahkan tribune dive tak kenal takut. "Moshpit paling brutal di Bandung," kata Wendi Putranto, Manajer Seringai, kala tahun 90-an sering datang ke Bandung untuk menyaksikan riuh-rendah Saparua sekaligus bertukar informasi tentang zine.

Di tahun 90-an, zine jadi media paling berpengaruh bagi kalangan anak muda di skena bawah tanah kota-kota besar Indonesia. Saparau lantas mempertemukan penggiat zine dari berbagai kota saling berjejaring, bertukar informasi terkait band lokal, skena, sampai promosi.


"Mindblast memang banyak saya dapatkan informasinya pas nongkrong di Saparua, sama teman-teman di Bandung," kata Sammack, kreator Mindblast asal Malang memaparkan asupan bahan baku tulisan paling banyak dari ekosistem Saparua.

Ekosistem musik di Saparua bahkan menginspirasi kawan-kawan dari skena musik di kota lain membuat zine. "Wah gila! Bandung aja bisa bikin kayak gini. Kenapa gue di Jakarta enggak bisa," kata Wendi, mantan jurnalis Rolling Stone Indonesia, ketika kali pertama beroleh zine Revogram di Saparua.

Revogram, menurutnya, menjadi representasi media alternatif terbaik meliput band-band bawah tanah. "Jadi harus dicatat tahun itu majalah atau surat kabar enggak paham tentang musik (underground) selain Majalah Hai," kata lelaki dengan nama alias Wenzrawk.

Baca juga:

Mengapa Produk 'KW' Jadi Musuh Ekosistem Lokal Made In Negeri Aing

Sokongan ekosistem Saparua di era 90-an terbilang lengkap, antara lain muncul band-band lokal berkualitas, penonton fanatik, acara musik berkala, dan penyelenggara berani ambil risiko. Kehadiran film dokumenter Gelora: Magnumentary of Gedung Saparua di kemudian hari, tepatnya di masa pandemi COVID-19, menjadi pelengkap sempurna informasi ekosistem Saparua bagi generasi selanjutnya.

Gelora: Magnumentary of Gedung Saparua tak sebatas mendokumentasikan GOR Saparua sebagai monumen kelahiran ekosistem musik dari berbagai genre di Bandung, pula merekam cara orang Indonesia menafsir-ulang arus pelbagai arus budaya sejak zaman kolonial hingga terakhir gedung digunakan sebagai acara musik.

Area Saparua di masa lalu merupakan bagi dari Kawasan Nusantara dikembangkan Belanda sebagai basis militer terbaru pada 1909-1911. Di lokasi tersebut sering digelar pameran industri tahunan bernama Jaarbeurs. "Banyak orang Bandung masa itu meniru gaya orang Belanda ketika berkunjung ke Jaarbeurs. Pakaian mereka a-la Belanda, ikut-ikutan pakai tongkat, dan cangklong," kata Ridwan Hutagalung, Komunitas Aleut.

Saat Jaarbeurs berlangsung digelar pula berbagai acara hiburan, dari olahraga sampai pertunjukan dan lomba musik keroncong. Saat Jepang berhasil menggulingkan Belanda lalu membuat Pemerintahan Militer Jepang, ada larangan mengadakan pertunjukan musik karean dianggap kebarat-baratan.

Acara musik kembali menggeliat ketika Presiden Sukarno menginisiasi pendirian GOR Saparua untuk menunjang gelaran Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-V pada 1961. Pembangunan GOR tak hanya bertujuan sebagai tempat olahraga melainkan pula pertunjukan musik. Sejak saat itu, GOR Saparua jadi langganan acara musik.

“Satu waktu pernah Aneka Nada dan Eka Sapta melakukan duel drum. Dari Aneka Nada ada Guntur dan Eka Sapta memiliki Benny Mustapha. Begitu selesai dengan duel drum akhirnya kita main musik bareng,” ucap Sam Bimbo dalam dokumenter tersebut.


Setelah melewati masa kolonial, masa sepi di zaman Jepang, kembali menggeliat di tahun 60-80an, dan mencapai puncak kejayaan di tahun 90-an, GOR Saparua kini sepi bukan saja lantaran pandemi COVID-19 melainkan sudah tak lagi dijadikan tempat penyelenggaraan acara musik.

Banyak musisi besar lahir di GOR Saparua. "Kalau mau dibilang tonggak berubahnya Ebenz di Saparua. Benar-benar berjasa bikin gue jadi kayak hari ini" kata Ebenz. "Tempat ini punya nilai spiritual".

Para narasumber di film tesebut, meliputi Sam Bimbo, Arian13 (vokalis Seringai), Dadan Ketu (Manajer Burgerkill/Riotic Records), Eben (Gitaris Burgerkill), Suar (Mantan Vokalis Pure Saturday), Wendi Putranto (Jurnalis musik/Manajer Seringai), Candil (ex Vokalis Serieus), Fadli Aat (Diskoria), Buluk (Superglad/Kausa), dan Idhar Resmadi (Jurnalis musik), kembali mempertanyakan eksistensi musik di GOR Saparua. Mereka berharap animo besar masyarakat dalam dan luar Bandung kembali bergeliat di Saparua.

Perjalanan panjang eksistensi GOR Saparua dibeberkan dengan pembabakan sejarah runtut pada film tersebut sehingga terkesan lamban di bagian awal. Meski begitu, Gelora; Magnumentary of Gedung Saparua menjadi salah satu tontonan wajib bagi penikmat musik menziarahi monumen bersejarah musik bawah tanah Bandung di masa pandemi dengan Lagu Hujan dari Koil sebagai penutup. (Far)

Baca juga:

Alutsista Made In Negeri Aing Diminati Dunia

#Wisata #Lipsus Liburan Juni #Juni Made In Negeri Aing #Musik
Bagikan
Ditulis Oleh

Febrian Adi

part-time music enthusiast. full-time human.
Bagikan