Menziarahi Makam Wali Demi Beroleh Gelar Haji

Yudi Anugrah NugrohoYudi Anugrah Nugroho - Selasa, 29 Mei 2018
Menziarahi Makam Wali Demi Beroleh Gelar Haji
Haji di masa lalu. (Tropenmuseum).

KERUMUNAN orang berubel putih di Masjid Demak tampak berbeda. Mereka secara bergantian berjalan memutari masjid. Mulut mereka komat-kamit mengambulkan doa, berharap menjadi Haji mabrur. Kaum muslimin, di abad 19, menurut R Soerdjana Tirtakoesoema “Beantwoording van der vragen gesteld door den Demak” Djawa XVII 1937, menganggap berziarah dan mengelilingi Masjid Demak sebanyak tujuh kali, sama dengan naik Haji ke Mekkah. Orang Jawa biasa menyebut ritual tersebut sebagai Besaran.

Gerak-gerak orang Jawa muslim untuk melaksanakan ibadah Haji di masa kolonial memang terganjal banyak permasalahan, mulai dari membutuhkan dana besar, lama perjalanan, masalah keamanan, hingga kebijakan Pemerintah Hindia Belanda.

Dengan segala keterbatasan, mereka mencari alternatif lain untuk pergi haji. Tanpa harus menapakan kaki di Mekkah, orang Jawa sudah merasa haji dengan melakukan prosesi Besaran.

Besaran dilakukan selama 10 hari, dari tanggal 1 hingga 10 Zulhijah. Para peziarah akan sembahyang dan mengaji di masjid Demak, serta menziarahi makam para wali, Sunan Kalijaga di desa Kadilangu. Ritual kemudian dimeriahkan dengan pasar malam di alun-alun.

kakbah
Foto masa lalu Kakbah. (pinimig)

Lantaran telah menjamur, para peziarah memberi anjuran agar “kiblat Mekkah diganti dengan kiblat Demak dan naik haji ke Mekkah deganti dengan haji ke Demak,” tulis surat kabar Soera Oemoem tahun 1903.

Peralihan pusat spiritual Mekkah-Demak bahkan dianggap sebagai pertentangan ekonomi, kaya-miskin. Para peziarah makam wali, menurut Mufti M Mubarok pada buku Kaji Blangko: Berhaji di Tanah Jawa Tanpa ke Mekkah, merupakan ‘haji orang Jawa miskin’. Disarankan pula agar para peziarah beroleh gelar, bila para calon haji ke mendapat gelar Haji atau huruf H di depan nama, maka sepatutnya para peziarah wali memakai gelar ‘Kaji Blangkon’ dengan sematan huruf K di depan nama mereka.

“Menurut tradisi lain, empat puluh kali ziarah ke imogiri sama dengan naik haji,” tulis Michael F Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The umma Below the Winds.

Tradisi peralihan ziarah makam lokal pengganti berhaji ke Mekkah tak terbatas pada pantai utara Jawa. Ritual serupa pun terdapat di Sumatera Barat, menurut sementara orang, tujuh kali meziarahi makam Syekh Burhanuddin di Ulakan, sebelah utara kota Padang, sama dengan satu kali berhaji ke Mekkah.

Tradisi tersebut disebut basapa atau bersafar karena diadakan pada hari rabu setelah tanggal 10 Safar bertepatan dengan haul Syekh Burhanuddin (1699). Ulakan pun dianggap sebagai “Meka Ketek” (Mekkah Kecil).

Di Sulawesi Selatan, menziarahi sebuah situs di Gunung Bawakaraeng, sekira 75 km sebelah utara kota Makassar, pun dianggap ibadah haji. Para peziarah di masa musim haji tersebut kelak disebut “Haji Bawakaraeng”. (*)

#Ramadan #Kerajaan Demak
Bagikan
Bagikan