Menunggu Langkah Pemerintah Singkirkan Pasal Karet UU ITE
Revisi UU ITE kembali mencuat, saat Presiden Joko Widodo memberikan arahan dalam Rapat Pimpinan TNI dan Polri Tahun 2021 di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/2). Namun, banyak pihak meragukan rencana pemerintah melakukan revisi karena sinyal yang diberikan para bawahan jokowi adalah membuat interpretasi teknis pada pasal pidana di UU ITE.
Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan pun, membentuk dua tim untuk melakukan revisi UU No. 11 Tahun 2018 tentang informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Tim pertama bertugas membentuk interpretasi teknis dan membuat kriteria implementasi dari pasal yang dianggap pasal karet dan tim kedua Tim yang kedua adalah tim rencana revisi UU ITE.
Menteri Koordinator Polhukam Mahfud MD menegaskan, dua tim ini akan bekerja pada hari Senin 22 Februari 2021, sebagai tindak lanjut tugas dari Presiden Jokowi menyelesaikan masalah UU ITE yang mengandung muatan satu pembuatan kriteria implementatif agar tidak terjadi pasal karet.
Baca Juga:
Revisi UU ITE, Menko Polhukam Gandeng Kemenkominfo
Presiden meminta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) untuk meningkatkan pengawasan agar implementasi terhadap penegakan UU ITE tersebut dapat berjalan secara konsisten, akuntabel, dan menjamin rasa keadilan di masyarakat.
Kepala Negara menuturkan, pandangannya bahwa belakangan ini banyak masyarakat yang saling membuat laporan dengan menjadikan UU ITE sebagai salah satu rujukan hukumnya. Hal ini sering kali menjadikan proses hukum dianggap kurang memenuhi rasa keadilan.
Jokowi memerintahkan Kapolri beserta seluruh jajarannya untuk lebih selektif dalam menyikapi dan menerima pelaporan yang menjadikan UU tersebut sebagai rujukan hukumnya.
“Pasal-pasal yang bisa menimbulkan multitafsir harus diterjemahkan secara hati-hati. Buat pedoman interpretasi resmi terhadap pasal-pasal Undang-Undang ITE biar jelas,” kata Presiden.
Ia menegaskan, apabila keberadaan UU tersebut dirasakan belum dapat memberikan rasa keadilan, Presiden bahkan menegaskan akan meminta kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk bersama merevisi Undang-Undang ITE sehingga dapat menjamin rasa keadilan di masyarakat.
“Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi Undang-Undang ITE ini karena di sinilah hulunya. Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda yang mudah diinterpretasikan secara sepihak," ucapnya. (Knu)
Pakar Keamanan siber dari CISSReC Pratama Persadha mendukung pemerintah merevisi pasal karet Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19/2016.
Alasannya, Iistilah pasal karet ini terdapat pula dalam salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 terkait dengan perkara permohonan pengujian UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE terhadap UUD RI Tahun 1945 yang diajukan oleh seorang jurnalis bernama Narliswandi Piliang alias Iwan Piliang, warga Kelurahan Guntur, Kecamatan Setia Budi, Jakarta Selatan.
Sementara itu, Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus menilai filosofi dan tujuan dibuatnya UU Nomor 11 Tahun 2008 jo UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) harus dikembalikan pada niat awal pembentukannya.
"Filosofi dan tujuan dibuatnya UU ITE perlu dikembalikan pada niat awal pembentukannya yaitu memastikan transaksi elektronik atau e-commerce berjalan dengan baik, kemudian hak-hak konsumen juga terlindungi," katanya.
Filosofi dibuatnya UU ITE adalah untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika, dan bisa dimanfaatkan secara produktif. Namun, dia menilai dalam pelaksanaannya UU ITE justru menimbulkan rasa ketidakadilan sebagaimana yang di sampaikan oleh Presiden Joko Widodo.
"Saya menyambut baik usulan Presiden untuk merevisi UU ITE karena banyak pasal karet dan tidak berkeadilan serta penerapannya sering menuai kontra dan menimbulkan kegamangan dan kecemasan di tengah masyarakat," ujarnya.
Sorotan publik pada UU ITE, saat ini banyak digunakan untuk saling melaporkan atas dskusi, kritik yang terjadi di ruang media sosial atau pecakapan pesan digital. Pencemaran nama baik merupakan ujaran atau ucapan atau perkataan yang tidak benar jadi dalih pelaporan.
Dalih pelaporan itu, dengan mengacu UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE Pasal 27 ayat (3) menyebutkan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Ancaman pidana dalam UU ITE ini lebih tinggi daripada KUHP. Ketentuan pidana dalam UU ITE ini termaktub dalam Pasal 45 ayat (3), yakni pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.
Berikut bunyi ayat (3):
Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Terkait dengan penghinaan juga terdapat dalam Pasal 311 KUHP yang menyebutkan jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.
Selain Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang menjadi perbincangan publik, Pasal 28 juga dianggap pasal karet. Berikut bunyi Pasal 28:
(1) Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Ancaman hukuman terhadap setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Ancaman hukuman yang sama terhadap setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
"Wajar jika ada sementara pihak memandang perlu penghapusan pasal karet di dalam UU ITE meskipun mereka tahu bahwa perbuatan pidana ini hanya berlaku di dunia maya," ujar Pratama Persadha dikutip Antara (*)
Baca Juga:
Anggota DPR Ini Minta Filosofi Dibuatnya UU ITE Dikembalikan ke Awal