MerahPutih.com - Pembahasan multilateral platform seperti G20, PBB, WTO, harus relevan dengan situasi saat ini dan memastikan stabilitas internasional. Oleh karena itu, pertemuan Parliament 20 (P20) diharapkan dapat menyelesaikan masalah geopolitik.
Forum G20 sendiri merupakan forum yang terbentuk dari krisis ekonomi tahun 1998 dan saat ini mewakili 85 persen PDB global dan 75 persen perdagangan dunia. Di tengah krisis multidimensi dengan posisi negara yang sangat terfragmentasi saat ini, G20 harus tetap memiliki peran yang kuat dan tidak boleh redup.
Baca Juga:
Jelang P20 di Jakarta, Kapolda Metro Tak Ingin Tragedi Kanjuruhan Terulang
"Sebagian besar konteks dalam concrete deliverables yang dibahas pada pertemuan-pertemuan working group dan engagement group telah disepakati. Satu-satunya masalah yang masih ada adalah geopolitik," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.
Airlangga menjelaskan bahwa Indonesia akan terus membangun infrastruktur digital karena cross border dari payment membutuhkan dukungan infrastruktur digital yang mumpuni.
"Indonesia juga mendapatkan apresiasi dari FAO dan berbagai lembaga internasional karena salah satu keberhasilan ekosistem Indonesia di sektor pangan salah satunya karena pembiayaan yang murah. Beberapa negara ingin mereplikasi program tersebut, termasuk juga mendapatkan perhatian dari World Bank," paparnya.
Ia pun menekankan, krisis global yang sedang terjadi harus diatasi bersama-sama dengan semangat solidaritas agar tidak menimbulkan ego yang akan mempersulit negara-negara di dunia untuk bertahan.
"Seperti, tantangan keamanan, ekonomi, dan lingkungan ini telah menunda upaya kita untuk mempercepat pemulihan," tegas Airlangga.
Baca Juga:
Terkait tantangan yang muncul akibat perubahan iklim, Airlangga menyampaikan bahwa Indonesia mementingkan keseimbangan pertumbuhan ekonomi yang tetap memperhatikan aspek lingkungan.
Indonesia telah melakukan transisi energi dengan berbagai upaya mulai dari co-firing PLTU dengan blue ammonia, carbon capture dan storage, serta financial model untuk untuk PLTU yang tidak efisien. Hal tersebut juga terkait dengan target untuk mencapai net zero emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat.
"Transisi energi harus berkeadilan, berkelanjutan, dan afordable bagi masyarakat," tegas Airlangga.
Airlangga dalam kesempatan tersebut juga menyampaikan bahwa Indonesia mendesak negara-negara maju untuk memenuhi janji mereka untuk menyediakan pendanaan untuk penanganan perubahan iklim sebesar USD100 miliar kepada negara-negara berkembang.
Menyoal kondisi perekonomian nasional saat ini, Airlangga juga menjelaskan bahwa kinerja ekonomi Indonesia hingga saat ini baik dan mampu tumbuh 5,44 persen pada Q2 tahun 2022.
"Indonesia optimis karena memiliki modalitas ekonomi yang sembari melanjutkan reformasi struktural yang ada. Kinerja perdagangan Indonesia juga bertahan di rekor tinggi selama dua puluh delapan bulan berturut-turut, mencapai USD24,8 miliar," ungkapnya. (Asp)
Baca Juga: