Menjemput Gelar Sultan Sampai Mekkah


Rombongan haji asal Maluku pada 1900. (Tropenmuseum)
RAJA-raja Islam Nusantara menganggap Mekkah sebagai pusat spiritual alam. Mereka merasa perlu mengaitkan dirinya dengan Mekkah. Melalui sebuah utusan khusus, para raja Islam Nusantara meminta gelar sultan pada otoritas Mekkah untuk mempertegas kekuasaan.
Raja Banten Abdul Kadir (Abu al-mafakir Abd al-Qadir) bertahkta 1626-1651 mengutus para pembesar kerajaan untuk berangkat ke Mekkah pada 1663-1664. Mereka, menurut HJ de Graaf pada Puncak Kekuasaan Mataram dan Ekspansi Sultan Agung, membawa permintaan khusus sang raja kepada Syarif Mekkah untuk menganugerahi gelar sultan.
Di samping meminta gelar sultan, tujuan lain para utusan bertandang ke Mekkah, seturut Sajarah Banten, dikutip dalam Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten, untuk meminta penjelasan tentang 3 kitab agama dan meminta agar ahli fikih dikirim dari Mekkah untuk membawa “cahaya di Banten”.
Sultan Mekkah, Syarif Zayd ibn Muhsin (1631-1666), menerima utusan tersebut dan memberikan hadiah termasuk surat memuat gelar untuk sang raja Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir, juga gelar untuk putra mahkota, Sultan Abumali Ahmad.
“Syarif Mekkah sebenarnya tidak berwenang untuk memberikan gelar sultan kepada siapa pun. Yang berwenang adalah khalifah, Sultan Turki,” tulis Henry Chambert Loir, Naik Haji di Masa Silam; Kisah-Kisah Orang Indonesia Naik Haji 1482-1964.
Ketika bertemu utusan Banten pada kali kedua, Syarif Mekkah sempat bertanya kepada mentri (wajir) apakah mereka disuruh menghadap Rum (Istambul)? Mentri menjawab tidak perlu.
Utusan Banten,menurut Hoesein Djajadiningrat, sejatinya tahu bila Syarif Mekkah di bawah Sultan Turki, namun mereka tetap menganggap Syarif Mekkah otoritas tertinggi. Urusan beres, para utusan pun pulang tak hanya membawa gelar sultan, melainkan sehelai bendera Nabi Ibrahim, sepotong kain tirai makam Nabi Muhammad, dan sepotong kiswa penutup Kakbah.
Di pusat kekuasaan Jawa, Raja Mataram, Pangeran Rangsang, juga mengirim utusan ke Mekkah untuk meminta gelar sultan pada 1639. Selang dua tahu, utusan tersebut pulang bersama seorang Ki Haji Gujarati dari Mekkah, demi menyampaikan gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani.
Raja telah menggunakan sebutan Sultan Mataram pada 1741, dan gelar paling tersohor, Sultan Agung digunakan sebagai nama anumerta sejak abad 18. Lantaran bangga memiliki gelar baru, Sultan Agung kemudian mengirim utusan baru ditemani 18 orang Jawa terkemuka membawa uang sejumlah 6000 rial untuk disedekahkan di makam Nabi Muhammad.
Berlalih ke Banten, sewaktu Abu al-Mufakhir meninggal pada 1651. Mangkubmi dan Pangeran Mandura, kemudian mengutus Santri Betot bersama 7 orang lain ke Mekkah untuk mengabarkan kematian sultan dan meminta nama pengganti.
Sepulang dari Mekkah, Santri Betot membawa sebuah surat berisi gelar baru Pangeran Ratu menjadi Sultan Abulfath Abdulfattah, kemudian tersohor sebagai Sultan Ageng Tirtayasa.
“Berbagi kisah di atas memperlihatkan betapa tunduk dan terpesona para raja dan pertinggi Nusantara terhadap Mekkah sebagai sumber kekuasaan politik dan keagamaan,” pungkas Henry Chambert Loir. (*)
Bagikan
Yudi Anugrah Nugroho
Berita Terkait
Kampung Haji Indonesia Diyakini Turunkan Biaya Haji

Kementerian Haji Tetapkan BPIH 2026 setelah raker dengan DPR, Bulan Ini

Presiden Prabowo Klaim Indonesia yang Pertama Punya Perkampungan Haji di Mekah

Perintah Prabowo ke Gus Irfan: Pangkas Waktu Tunggu Haji dari 40 Tahun Jadi 26 Tahun

KPK Mulai Sasar Masalah Katering di Kasus Dugaan Korupsi Haji

Menteri Haji dan Umrah Datangi KPK Bahas Pencegahan Korupsi Penyelenggaraan Haji

BPIH 2026 Diharap Bisa Diputus Bulan Depan, Penetapan Kuota Harus Merujuk Daftar Tunggu

Kuota Haji 2026 Tetap 221 Ribu, Menteri Irfan Ungkap Skema Baru Pembagian Berdasarkan Antrean Jemaah

Pakar Sebut Kewenangan Atribusi Menag tidak Melawan Hukum

KPK Temukan Praktik Jualan Beli Kuota Haji Antar Penyelenggara
