NEGERI Belanda menjadi bahan perbincangan di media massa dan sosial. Negara yang beribukotakan Amsterdam itu baru saja meminta maaf atas tindak perbudakan yang yang dilakukan oleh leluhur mereka ratusan tahun lalu. Permohonan maaf disampaikan oleh Mark Rutte, Perdana Menteri Belanda, secara langsung melalui pidatonya di Nationaal Archive, Den Haag, Senin (19/12).
“Hari ini, sebagai perwakilan dari pemerintahan Belanda, saya meminta maaf atas tindakan masa lalu belanda yang telah memperbudak banyak orang di masa lalu dan di seluruh dunia,” tuturnya kepada korban di masa lalu sekaligus kepada seluruh keturunan yang masih hidup hingga saat ini.
Seperti telah banyak disampaikan dalam buku sejarah sekolah, Belanda dianggap menjajah dan mendominasi ke berbagai wilayah, termasuk Indonesia selama ratusan tahun.
Menurut Erik van Zwam dalam "Waarom Nederland geen excuses aanbiedt voor de grootscheepse slavernij in Indonesië" di laman Trouw, perbudakan Belanda di Tanah Air bermula ketika Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)/Kongsi Dagang Hindia Timur datang ke Kepulauan Banda di Maluku pada 1621.
VOC adalah perusahaan dagang multinasional yang mempekerjakan orang dari berbagai kebangsaan. Saham VOC dimiliki oleh orang-orang kaya dan beberapa anggota Kerajaan Belanda.
Mereka ingin memonopoli seluruh perdagangan rempah-rempah di Nusantara, seperti buah pala, lada, dan cengkeh. Ini membuat ribuan penduduk lokal terbunuh dan ratusan lainnya disandera serta dikirim ke Batavia, yang kini disebut sebagai Jakarta.
Proses ini hanyalah awal dari tindakan tak manusiawi yang dilakukan Belanda pada orang Indonesia dan penduduk di belahan bumi Timur lainnya. Perbudakan di Nusantara oleh Belanda diperkirakan sama besarnya dengan yang terjadi di Suriname serta Kepulauan Karibia.
Baca juga:
Perdana Menteri Belanda Minta Maaf Atas Perbudakan Masa Lalu

Demikian diungkap oleh Matthias van Rossum, peneliti International Institute of Social History, yang berfokus pada sejarah perbudakan di Indonesia. Diperkirakan ada 660 ribu hingga 1,1 juta orang yang dijadikan budak oleh VOC. Perbudakan ini juga tak lepas dari andil penguasa lokal yang membuat perjanjian dengan VOC.
Orang-orang ini ditangkap dan dijadikan budak untuk bekerja secara paksa di berbagai lokasi. Misalnya di perkebunan tebu di Batavia dan pertambangan perak serta emas di Sumatera Utara.
Pada abad ke-18 dan 19 (sekitar tahun 1700 hingga 1800-an) pula, para budak dipaksa untuk bekerja menghasilkan rempah-rempah, menanam padi, dan mengurusi bongkar-muat kapal di pelabuhan dan galangan kapal.
Pada masa itu juga, banyak budak yang diperkerjakan sebagai asisten rumah tangga (sebutan lampaunya babu) di kediaman orang Belanda. Para babu dianggap 'lebih beruntung' daripada mayoritas budak yang ada di Suriname.
Tak jarang, akhirnya orang yang diperbudak tadi memiliki anak hasil hubungan dengan lelaki Belanda. Keturunan mereka disebut Indo, sedangkan ibu dari si Indo dan istri orang Belanda disebut Nyai. Dari percampuan ini pula muncul kebudayaan Indis, sebuah campuran antara kebudayaan setempat dan Eropa.
Beberapa anak Indo cenderung dianggap oleh kaum Anak Negeri (Pribumi) sebagai kelompok yang memiliki privilege atau keuntungan sosial. Namun, beberapa anak Indo lainnya justru menerima perlakukan buruk dari kelompok Eropa.
Kehidupan sebagai anak Indo tidak menyenangkan seperti yang terlihat. Mereka ditolak oleh kelompok Anak Negeri, juga kelompok Eropa, dan sering menjadi sasaran perbudakan di rumah sendiri. Terkadang diperlakukan kasar, seperti dicambuk.
Baca juga:

Seiring berjalannya waktu, pada akhir abad ke-18, VOC bangkrut. Perusahaan ini akhirnya diambil-alih oleh pihak Kerajaan Belanda. Namun perbudakan berlanjut. Aktornya kali ini adalah negara Belanda.
Mereka memberlakukan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) pada 1830. Melalui sistem ini, para petani dipaksa untuk menanam tanaman yang laku di pasaran dunia seperti kopi, tembakau, dan nila.
Karena kritik keras dari kelompok Liberal di Belanda, Pemerintah Belanda menghapus Sistem Tanam Paksa pada 1870-an. Masa setelah tanam paksa, perbudakan kembali dilakukan oleh perusahaan swasta berbentuk perkebunan. Mereka memperbudak pekerja lewat sistem kuli kontrak (Koelie Ordonnantie).
Perkebunan menawarkan sejumlah kontrak kerja yang ditandatangani oleh pekerja lokal dan pendatang dari Tiongkok. Sayangnya, pekerja tidak tahu kontrak jenis apa yang mereka ambil karena mayoritas buta huruf. Kuli akhirnya menjadi budak versi modern pada abad ke-19 dan awal 20-an.
Jumlah kuli yang direkrut dari Tiongkok sekira 20 ribu orang sejak 1880. Kuli dari Indonesia rata-rata berasal dari pulau Sumatera dan Jawa. Sistem kuli berlanjut sampai akhir tahun 1920-an. Data ini disampaikan oleh Budiman Minasny, seorang Professor of Land Use di University of Sydney, seperti dikutip dari Trouw.
Budiman juga menyampaikan kondisi hidup para kuli yang mengenaskan. Gambaran kuli ini juga tersua dalam buku Jan Bremen Menjinakkan Sang Kuli dan novel berjudul Coelie karya M.H. Székely-Lulofs. Perkebunan swasta bertindak semau sendiri. Tak ada pengawasan dari pemerintah.
Menurut Van Rossum, rentetan perbudakan ini meninggalkan luka besar yang membekas bagi para korban serta keturunan mereka. Di Indonesia, tidak banyak pihak yang melakukan penelitian terkait perbudakan ini sejak awal. Penderitaan korban pun kurang muncul di masyarakat umum.
Budiman menilai ada sejumlah pihak di Indonesia yang menganggap 'banyak hal lebih penting daripada masa lalu'. Meskipun sejarah penting, kebanyakan anak muda saat ini lebih terfokus untuk menata masa depan.
Sedangkan tuntutan permintaan maaf untuk kejahatan pada masa lalu mayoritas datang dari penduduk yang berusia dewasa hingga lanjut. Pemerintah dan media Indonesia juga tidak terlalu sering membahas topik soal perbudakan dari Belanda ini. (mcl)
Baca juga:
'Emancipation', Film tentang Perbudakan Pertama dari Will Smith