Wisata Indonesia

Mengunjungi Desa Adat Sasak Sade yang Teguh Memegang Tradisi di Sela Gempita MotoGP

Ikhsan Aryo DigdoIkhsan Aryo Digdo - Jumat, 18 Maret 2022
Mengunjungi Desa Adat Sasak Sade yang Teguh Memegang Tradisi di Sela Gempita MotoGP
Desa Adat Sasak Sade hanya 15-20 menit dari Bandara Internasional Lombok. (Foto: merahputih.com/Thomas Kukuh)

MENGUNJUNGI Mandalika untuk menyaksikan gelaran MotoGP tak lengkap jika tidak mengunjungi desa adat suku Sasak yang masih memegang kuat tradisi leluhurnya. Salah satunya adalah Desa Adat Sasak Sade.

Tak terlalu sulit untuk mengunjungi Desa Adat Sasak Sade yang terletak di Kabupaten Lombok Tengah. Desa ini hanya sekitar 15-20 menit dari Bandara Internasional Lombok.

Baca Juga:

Jelang MotoGP Mandalika 2022, Cek Rekomendasi Hotel Dekat Sirkuit Mandalika

Begitu tiba di desa adat ini, wisatawan biasanya disuguhi aksi dua jagoan yang berduel bersenjatakan penyalin (tongkat dari rotan) dan dilengkapi ende (tameng kotak dari kulit sapi). Duel tersebut disebut: Peresean.

Cetarrr… cetarrr.. dua orang pepadu (petarung) saling menyabetkan penyalin lalu sibuk berlindung di balik ende-nya saat dibalas serangan sang lawan.

Para pepadu yang sedang bertarung. (Foto: merahputih.com/Thomas Kukuh)

"Peresean ini dulunya dilakukan sebagai tradisi untuk memanggil hujan. Karenanya, dulu dilaksanakan sekitar bulan November. Karena di bulan-bulan itu Lombok biasanya mengalami musim panas panjang," tutur pemandu MerahPutih.com Lalu Widyaning Arta, Jumat (18/3).

"Kami sudah terus berdoa tapi hujan tak kunjung datang, karenanya kami memutuskan untuk menumpahkan darah," lanjut dia.

Baca Juga:

Simulasi Gempa Dahsyat NTB: Sirkuit MotoGP Mandalika Habis Tersapu Tsunami

Ketika salah satu pepadu kepalanya berdarah akibat sabetan rotan lawannya, maka dinyatakan kalah. Bila ada kepala yang berdarah, dipercaya akan turun hujan. "Hujan inilah yang akan membersihkan darah," imbuh pria asli suku Sasak itu.

Selain kepala berdarah, pepadu dinyatakan kalah apabila penyalin atau endenya jatuh sebanyak tiga kali.

Anak perempuan di atas 15 tahun di desa ini harus sudah bisa menenun. (Foto: merahputih.com/Thomas Kukuh)

Desa Adat Sasak Sade sendiri kini dikelola sedemikian rupa sebagai tujuan wisata. Luasnya sekitar 3 hektar. Rumah-rumah di sana khas rumah suku Sasak. Atapnya terbuat dari jerami dan lantainya masih terbuat dari tanah liat yang dicampur jerami.

"Di sini ada 150 kepala keluarga dan totalnya ada sekitar 700 jiwa," terang Arta. Warga Desa Adat Sasak Sade masih memegang teguh tradisi leluhur. Salah satu tradisi uniknya adalah anak perempuan di atas 15 tahun harus segera menikah. Tapi syaratnya harus bisa menenun.

"Kalau anak perempuan sudah 20 tahun belum menikah akan dijuluki perawan tua," imbuhnya lantas tersenyum.

Di sana, pengunjung akan disuguhi hasil kerajinan warganya. Seperti sarung tenun, kain tenun, ikat kepala tenun, gelang dan lainnya. "Itulah kenapa anak perempuan sebelum menikah syaratnya harus bisa menenun, untuk membantu ekonomi keluarga. Sebab, suku Sasak melarang suami istri bekerja bersama. Istri harus di rumah dan menenun," kata dia. (kuh)

Baca Juga:

Pujian dan Kritikan Scott Redding untuk Sirkuit Mandalika

#Wisata Indonesia #Mandalika #GP Mandalika #Travel
Bagikan
Ditulis Oleh

Thomas Kukuh

Bagikan