Mengunduh Kearifan Lokal Masyarakat Baduy

Yudi Anugrah NugrohoYudi Anugrah Nugroho - Senin, 22 Januari 2018
Mengunduh Kearifan Lokal Masyarakat Baduy
Pengunjung berpose dengan penduduk Baduy. (De Sucitra)

Gemala beserta rombongannya harus menelan kekecewaan lantaran tak bisa mengujungi kawasan Baduy Dalam. Para pengujung nan sehari-hari berkutat dengan kesemrawutan ibukota tersebut ingin sekali mengunduh kearifan lokal dan memahami kepercayaan penduduk wilayah Cikertawana, Cikeusik, dan Cibeo, Kabupaten Lebak, Banten.

Para penduduk adat Baduy, baik Baduy Luar dan Dalam, menganut kepercayaan lokal Sunda Wiwitan. Kepercayaan orang Kanekes, menurut Edi S Ekadjati pada Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah, Sunda Wiwitan merupakan agama Sunda asli. Wiwitan berarti mula, pertama, asal, pokok, jati.

Tidak semua orang di Indonesia mengerti tentang kebiasan kepercayaan Sunda Wiwitan orang Kanekes. Justru itu, Gemala serombongan ingin memahaminya. Tapi, mereka tak bisa masuk ke areal Baduy Dalam karena sedang ada peringatan Kawalu.

Masyarakat Baduy
Gemala dan rombongannya di kawasan Baduy. (De Sucitra)

Ngawalu atau melaksanakan upacara Kawalu biasa dilakukan setelah padi dari ladang kembali ke leuit (lumbung), seusai sekian lama berada weweg sampeg mandala pageuh atau bumi (ladang).

Kawalu dilaksanakan 3 kali dalam setahun. Kawalu Tembey (awal) diselenggarakan setiap tanggal 17 kasa (bulan ke-10). Kawalu Tengah diadakan tanggal 18 karo (bulan ke11). Sementara, Kawalu Tutug (akhir) dilangsungkan pada tanggal 17 katiga (bulan ke-12).

Pada hari Kawalu, masyarakat Baduy Dalam melaksanakan puasa. Khusus bagi penduduk Tangtu, harus memulai puasa dengan nyeupah atau makan sirih. Mereka akan menyucikan diri lahir dan batin. Saat berlangsung Kawalu pengunjung dilarang masuk agar tidak mengganggu jalannya Ngawalu.

Gemala dan rombongannya, salah satunya Joanne berasal dari Jerman pun mematuhi aturan tersebut. Mereka kemudian menginap di Kampung Gajeboh, batas terdalam mereka diizinkan berkunjung.

Ketika itu, mereka bukan satu-satunya kelompok pengunjung. Gemala dan rekan-rekannya melihat ada sekelompok orang menerobos batas wilayah berusaha memasuki Baduy Dalam. Reky Martha, seorang rombongan Gemala, dengan mimik wajah protes berkata pada sang pemandu mereka "Lho, itu mereka boleh kok terus masuk," katanya.

Pemandu tersebut lantas memberikan penjelasan bahwa keadaan tersebut tidak memberi kita hak untuk melanggar adat. Mereka cukup puas dan meresa senang lantaran sudah diizinkan masuk, melihat, dan mengalami kehidupan orang Baduy di wilayah Kampung Gajeboh.

Mayarakat Baduy
Pengunjung berpose di anak tangga kampung adat Baduy. (De Sucitra)

Rahmi, seorang rombongan Gemala lainnya, merasa perlu bertanya tentang keinginannya menjalankan ibadah shalat lima waktu. Mungkinkah melaksanakan shalat di antara orang Kanekes berkepercayaan Sunda Wiwitan. "Kita tetap boleh sholat kan?" tanyanya.

Tanpa babibu, Rahmi dan Gemala menikmati berwudhu dari sumber air nan sejuk. Kemajemukan dan tenggang rasa justru sangat kuat terlihat pada masyarakat Baduy.

Sejak menginjakan kaki di Ciboleger, wilayah gerbang masuk kawasan Baduy, para rombongan pecinta durian ini, kecuali Joanne asal Jerman, bak anak-anak gadis di gudang coklat. Mereka bungah bukan kepalang. Tak henti berpesta durian sejak awal hingga akhir perjalanan.

Sementara Joanne justru mengaku suka sekali mencicipi manggis. Dia heran kenapa orang Indonesia suka sekali durian. Bagi hidungnya durian berbau tidak sedap. "Aku heran kalian lebih suka durian, padahal manggis ini lewat," katanya.

Keseharian masyarakat Baduy, ketika mentari tenggelam akan hening, Gemala dan teman-temannya menghormati dan menikmati kebiasaan tersebut sebagai sebuah kesempatan untuk mendapatkan tidur yang nyenyak.

Dan karena mereka bukan satu-satunya kelompok pengunjung, masih saja ada suara kegaduhan dari pengunjung lain, mengobrol dengan suara bising, dan tawa berlebihan. Sampai harus diingatkan untuk menurunkan suara.

Keesokan harinya, diketahui kelompok pengunjung penerobos batas ternyata dihadang salah seorang tetua Baduy Dalam dan diminta untuk kembali ke wilayah Baduy Luar. (*)

Artikel ini merupakan tulisan De Sucitra kontributor Merah Putih di Banten.

#Suku Baduy #Suku Baduy Di Banten #Seba Baduy #Baduy Luar
Bagikan
Bagikan