Mengulik Sejarah Kopi Lewat Novel 'Babad Kopi Parahyangan'

Ikhsan Aryo DigdoIkhsan Aryo Digdo - Senin, 24 Oktober 2022
Mengulik Sejarah Kopi Lewat Novel 'Babad Kopi Parahyangan'
Mengenal sejarah kopi lewat Babad Kopi Parahyangan. (Foto: Babad Kopi Parahyangan)

SEBUAH buku tebal yang sampulnya didominasi warna cokelat tua dan muda tampak menarik perhatian. Seakan ingin menyampaikan isinya, sampul buku itu melambangkan perpaduan warna kopi yang identik manis dan pahit sekaligus dalam bentuk novel bertajuk Babad Kopi Parahyangan.

Sang penulis, Evi Sri Rezeki melihat sisi lain dari minuman beraroma khas itu yang ingin ia sampaikan dalam novelnya. Novel tersebut hadir dalam empat babak atau tetralogi.

Baca Juga:

Petani Kopi Bersiap, Cup of Excellence 2022/2023 Segera Hadir

Evi mengatakan kecintaannya terhadap kopi telah hadir sejak ia masih kecil. Tumbuh di keluarga yang menyukai kopi membuatnya juga terbiasa dengan minuman berwarna hitam itu. "Jadi ide untuk menggabungkan kedua hal ini sejak awal bukanlah hal yang benar-benar sulit bagi saya," ujar Evi dalam presentasinya pada acara Jakarta International Literacy Festival, Senin (24/10).

Babad Kopi Parahyangan merupakan sebuah karya sastra yang memiliki gaya fiksi sejarah. Artinya, Evi mencoba menggabungkan unsur sejarah dalam rupa fiksi melalui tulisannya. Menurutnya, belum banyak karya di Indonesia yang mengangkat tulisan soal kopi, terutama dari sisi kisah sejarah. Padahal, selama ratusan tahun, kopi sangat dekat dengan sisi kemanusiaan.

"Ketika saya melakukan riset literatur tentang kopi, aku menemukan banyak data yang sejujurnya membuat saya merasa trauma," tutur Evi berusaha mendeskripsikan betapa kopi menjadi saksi bisu dari kehidupan Nusantara di masa kerja paksa (cultuurstelsel).

Babad Kopi Parahyangan hadir dalam dalam empat babak atau tetralogi. (Foto: Babad Kopi Parahyangan)

Novel tetralogi Evi terbagi ke dalam periode waktu masing-masing. Mulai dari zaman kolonial kependudukan Belanda di Nusantara, sampai dengan era sekarang. Dalam penggarapannya, Evi menelusuri berbagai data dan dokumen dari zaman penjajahan di Indonesia dulu, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Ia menemukan fakta bahwa kopi telah banyak berperan dalam kehidupan manusia dari berbagai sisi. Untuk membuat ceritanya lebih mengalir dan emosional, Evi juga mengunjungi perkebunan Kopi di Jawa Barat secara langsung. Ia secara khusus memilih perkebunan kopi tua yang berada di area Bogor dan Pangalengan, Bandung. Ia ingin berbagi kisah tentang bagaimana kehidupan orang-orang di sana dulu.

Baca Juga:

Meski Kondisi Pandemi, SCAI Sukses Menggelar Banyak Program di Semester Pertama 2021

"Kopi bukan hanya hadir sebagai komoditas. Tetapi juga terhubung dengan kehidupan sosial manusia dulu. (Karena kompleks), sehingga saya harus memetakan antara social relationship mapping, power mapping, dan kinship mapping," jelas Evi lebih jauh tentang bagaimana ia bisa menggabungkan unsur sejarah menjadi sebuah kisah fiksi.

Meski terinspirasi dari berbagai kisah sejarah, Evi menegaskan bahwa seluruh tokoh di novelnya merupakan karakter fiktif. Ada tiga karakter yang memainkan peran penting dalam cerita ini. Pertama ada sosok Karim, seorang pemuda Minang yang merupakan penjelajah. Ia mengelilingi berbagai daerah dan sampailah di Parahyangan. Di sana, ia melihat dan bercerita tentang pengalamannya terjun langsung dalam pengolahan kopi.

Evi memperkenalkan Babad Kopi Parahyangan pada Jakarta International Literacy Festival. (Foto: merahputih.com/Marcella)

Karakter kedua adalah Kang Asep. Ia merupakan orang Sunda yang hidup berdampingan dengan kopi. Kang Asep merupakan sosok yang hendak mendobrak stereotip orang pribumi itu dianggap malas dan bodoh. Ia juga menunjukkan melalui kisahnya tentang tekanan hidup yang kala itu dihadapi oleh pekerja kopi.

Karakter ketiga adalah orang asing dan pribumi. Peran mereka adalah menunjukkan kepada pembaca bahwa hubungan penduduk Nusantara dengan warga negara asing tidak sesederhana itu. Tidak selalu hitam dan putih.

Melalui novel tetralogi terbitan Marjin Kiri ini, Evi berharap ia dapat membagikan kesadaran pada pembaca. Ia menganggap kita perlu belajar dari sejarah. Maka dari itu, ia berharap kerja paksa dan tekanan dalam bekerja tidak lagi berlangsung sampai sekarang. Meski bentuknya bukan kerja paksa seperti zaman penjajahan, tetapi penekanan terhadap tenaga kerja masih ramai dilakukan dan membuat orang lain merasa kesulitan.

Evi Sri Rezeki merupakan sosok penulis Indonesia yang telah menerbitkan beberapa novel. Sebelum tetralogi Babad Kopi Parahyangan, ia pernah menulis fiksi remaja bertajuk Cine Us dan Twiries, Sell Your Soul!, dan Twins Universe. (mcl)

Baca Juga:

Pemerintah Apresiasi Gelaran Cup of Excellence di Indonesia dan Pertama di Asia

#Kopi #Buku
Bagikan
Ditulis Oleh

Ikhsan Aryo Digdo

Learner.
Bagikan